Perubahan jaman merupakan suatu hal yang mesti dan bersifat alamiah. Segala sesuatu yang ada di dunia ini selalu berubah, karena hidup ibarat roda yang bergerak dinamis. Sehingga dari situ bisa ditarik sebuah kesimpulan: bahwa yang abadi di dunia ini ialah perubahan itu sendiri.
Namun, tradisi dan budaya merupakan suatu hal yang beda. Tradisi dan budaya merupakan suatu hal yang harus dilestarikan. Mengapa?
Dalam peribahasa kuna Sumenep terdapat kalimat ja’ padana dandang (jangan seperti burung gagak). Apa yang dimaksud jangan seperti burung gagak? Gagak atau mano’ dangdang kata orang Sumenep menurut legendanya merupakan burung yang memiliki suara paling bagus dan cara berjalan yang paling baik. Namun dangdang sering meniru suara dan cara berjalan binatang lain. Sehingga pada akhirnya, dangdangpun lupa cara berkicau yang baik dan cara berjalan yang baik. Suara dangdang jadi serak dan menakutkan, serta berjalannyapun berubah menjadi meloncat-loncat.
Melestarikan budaya sejatinya untuk menjaga identitas suatu bangsa. Tentu tidak lucu saat pengetahuan tentang sejarah Sumenep ditulis dan dikuasai oleh orang di luar Sumenep. Dan yang paling tidak lucu, saat orang Sumenep mempelajari sejarah ibunya berdasar literatur yang dibuat orang asing. Masyarakat yang seperti ini seperti masyarakat dangdang.
[junkie-alert style=”red”] Salah satu tradisi dan budaya Sumenep yang kini masih patut mendapat apresiasi ialah tradisi rokat. Rokatpun bermacam-macam, yang paling populer ialah rokat nelayan atau rokat tase’ atau petik laut. Tradisi ini masih memiliki ruang penghormatan yang luas utamanya di kalangan masyarakat pesisir selatan Sumenep. Yakni kawasan kecamatan Kalianget dan Saronggi. Khusus di kawasan itu, tradisi ini memiliki benang merah dengan sejarah garam, dan budaya Nyadar. [/junkie-alert]