Oleh: Iqro’ Alfirdaus,
Mamaca adalah salah satu seni olah vokal Madura yang merupakan media dakwah dan pendidikan serta media kontemplasi dan pemahaman filsafat. Mulai berkembang di Madura sebelum abad ke-15 (pra Islam). Mamaca biasanya dimainkan oleh dua orang pemain, yaitu pembawa lagu dan panegghes.
Panegghes merupakan juru makna yang bertugas menjelaskan arti dan isi dari lagu yang dinyanyikan oleh pembawa lagu. Ia juga sebagai penerjemah tembang yang dinyanyikan dengan bahasa Madura.
Mamaca memiliki dua unsur penting, yakni seni sastra dan seni suara (vokal). Beberapa nama lagu mamaca Madura antara lain, Artate, Kasmaran, Senom, Salanget dan Dhurma. Cara membawakannya menggunakan gaya tekanan bahasa mirip aksen seorang dalang dalam pertunjukan wayang. Ketika mamaca dilantunkan, biasanya diiringi seruling, gambang, dan instrumen gamelan lain—yang dibunyikan dengan samar atau lirih—dengan tujuan suara pembawa lagu menjadi lebih dominan. Dan tak jarang, kegiatan mamaca hanya diiringi seperangkat kecil gamelan: gambang atau seruling saja.
Ciri khas yang paling menonjol adalah suara si penembang yang diembat-embat (vibrasi) berkepanjangan, seakan tak ada putusnya antara bagian lirik lagu yang satu dengan yang lainnya. Tembang tersebut menjadi terasa penuh dengan sentuhan kelembutan.
Bang-tembangan mamaca umumnya dengan pembacaan sebuah kakawin secara bersama-sama. Sedangkan kakawin biasanya dalam bahasa Jawa Kawi atau Madura klasik. Di sinilah peran panegghes atau tokang tegghes (juru makna) dimainkan. Perhelatan tersebut biasanya untuk mengiringi prosesi ritual-ritual tertentu, misalnya selamatan kandungan (pelet kandung), Rorokadan (rokat) seperti rokat bujuk dan pandhaba, potong gigi (mamapar), dan sunatan.
Akar Mamaca
Bagi masyarakat Madura yang memiliki diligensi eklektik dan animo yang kuat terhadap primordialitas budayanya, mereka tentu membantah terhadap persepsi orang luar (Jawa) yang beranggapan bahwa mamaca Madura merupakan embrio dari budaya Jawa. Meski sedikit banyak terdapat pengaruh dari kebudayaan Jawa yang bersumber dari kraton, namun bukan berarti Madura tidak mempunyai akar budaya sendiri. Mamaca Madura mempunyai ciri khas tersendiri. Dan munculnya anggapan bahwa mamaca Madura merupakan imitasi kebudayaan Jawa agaknya lebih terkait persoalan transfer informasi yang terhambat.
Dinamika budaya mamaca di Madura merupakan manifestasi defensif masyarakat terhadap kesenian yang diwariskan nenek moyangnya. Dalam perkembangannya, ia tak lepas dari transisi ajaran Hindu di mana dalam perkembangan berikutnya filosofi Hindu menjadi bait-bait yang mengandung nilai filosofi Islami sebagai nilai inti (core value). Hal ini terkait peran para mubaligh di masa lampau yang menjadikan kesenian sebagai media dalam berdakwah.
Para mubaligh terdahulu menciptakan tembang-tembang kreatif dan inovatif yang berisi doktrin agama, puji-pujian kepada Allah, anjuran dan ajakan untuk mencintai ilmu pengetahuan. Menyeru pesan-pesan agama: moralitas, pencarian dan kontemplasi hakekat kebenaran dan pembentukan manusia yang berkepribadian dan berkebudayaan. Melalui tembang mamaca tersebut, setiap manusia diketuk hatinya untuk lebih memahami dan mendalami makna hidup
*) Pemerhati budaya lokal Nusantara, tinggal di Yogyakarta.
maaf penulis (iqro’ alfirdaus)salah sebut nama
Oh iya maaf, barangkali dibantu nama penulis sebenarnya. Kebetulan kami ngambil dari http://www.gong.tikar.or.id, tapi kami cek alamat URL tersebut tidak aktif.
maaf mbak Ruh Resti saya copy tulisan mbak untuk tugas perkuliahan
di tempat kelahiran saya Banyuwangi juga masih ada tradisi mamaca