Oleh M Mushthafa
Kekhawatiran semacam ini sebenarnya cukup berkembang di Tanah Air, seperti tercermin pada Kongres Kebudayaan Madura Maret 2007 di Sumenep, atau dalam Kongres Bahasa Jawa IV di Semarang beberapa bulan sebelumnya.
Kerisauan berbagai pihak, terutama kalangan budayawan, atas nasib budaya dan bahasa ibu ini didasarkan atas kesadaran, kedua hal tersebut memuat nilai-nilai signifikan dalam pembentukan karakter dan kepribadian seseorang.
Ajip Rosidi (Suara Merdeka, 26/2/2007), sastrawan dan penggagas Hadiah Rancage, menegaskan, anak-anak belajar memahami dunia dan lingkungannya melalui bahasa ibu. Bahasa ibu menancapkan nilai-nilai dan norma yang kemudian berakar kuat pada diri seseorang.
Seperti disinyalir Ajip Rosidi, generasi mutakhir Indonesia saat ini bahasa ibunya adalah bahasa Indonesia. Ini terutama banyak ditemukan di kota-kota besar. Afrizal Malna, penyair kontemporer Indonesia, memberikan pengakuan yang cukup menarik disimak. Bagi penyair kelahiran Jakarta itu, bahasa Indonesia yang menjadi bahasa ibunya ”telah kehilangan akal budayanya dan diterima hanya sebagai alat komunikasi dan politik penyatuan” (Afrizal, 2002: 68-70).
Ada nuansa keterasingan yang terekam karena nilai-nilai kebudayaan yang tersimpan dalam bahasa Indonesia tak pernah bisa akrab dengannya. Ada catatan kerinduan atas bahasa ibu dan khazanah kebudayaan yang dikandungnya, yang ternyata tak dimiliki oleh bahasa Indonesia.
Kasus di Madura
Dalam konteks kebudayaan Madura, ada satu contoh mutakhir tentang meredupnya bahasa Madura. Awal 2008 ini, Lomba Cipta dan Baca Puisi Madura yang digelar Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Wiraraja Sumenep ternyata hanya diikuti 17 peserta.
Terkait dengan itu, Achmad Zaini Makmun, Staf Ahli Balai Bahasa Surabaya, semakin yakin dengan hasil riset yang memprediksi bahwa bahasa Madura akan musnah pada tahun 2024. Hal itu akan ditandai dengan hilangnya apresiasi dan kepemilikan warga Madura terhadap bahasa ibunya.
Tiga Masalah Utama
Menurut penulis, setidaknya ada tiga masalah utama dalam proses pemudaran bahasa ibu ini. Pertama, masalah dokumentasi yang ditandai oleh tidak cukup banyaknya dokumentasi tentang bahasa Madura yang ditulis dengan rapi, baik, dan dapat diakes secara luas, baik dalam bentuk kamus maupun karya kesusastraan pada umumnya. Menurut Prof Mien, sampai saat ini berbagai karya literer Madura, seperti Trunojoyo, Joko Tole, Ke’ Lesap, dan Bindara Saud, belum tertuang dalam buku sastra yang standar.
Andai kata sudah ada upaya dan produk yang terdokumentasi, lalu ke mana sebenarnya arah pemanfaatan khazanah bahasa Madura tersebut untuk konteks kekinian?
Di zaman dengan kemajuan ilmu dan teknologi luar biasa seperti saat ini, terlihat jelas betapa bahasa ibu seperti bahasa Madura tak cukup kredibel berperan sebagai penyampai kemajuan-kemajuan itu.
Sebenarnya cukup menarik untuk melihat peran pesantren tradisional (atau pesantren ‘salaf’) di Madura yang hingga saat ini menggunakan bahasa Madura sebagai bahasa pengantar utama dalam pengajaran kitab kuning. Bagi sebagian mereka, bahasa Madura bahkan dipandang lebih lengkap dan komprehensif menggambarkan status gramatikal struktur bahasa Arab dalam kitab kuning yang diajarkan dibandingkan dengan bahasa lain.