Prof. Dr. Abdul Hadi W.M.*)
Supaya tampak khas dan unik, marilah saya mulai dengan memaparkan Madura dan masa-masa awal maraknya kegiatan penulisan sastra di pulau Karapan Sapi itu. Sebagai nama sebuah eks-keresidenan di propinsi Jawa Timur, Madura dikenal sebagai daerah penghasil garam dan ternak sapi yang terkemuka. Penduduknya adalah penggemar olahraga kerapan sapi, bertemperamen keras, pekerja yang rajin dan ulet. Sebagian besar orang Madura adalah petani, nelayan dan pedagang. Di luar pulau mereka dikenal sebagai penjual sate dan soto, di samping pedagang dan pengusaha besi tua. Tetapi bahwa Madura memiliki tradisi budaya yang berbeda dengan suku bangsa tetangganya yaitu Jawa dan Bali, tidak banyak diketahui oleh orang di luar pulau itu.
Sebelum menjadi bagian dari kerajaan Hindia Belanda dan Republik Indonesia, di Madura telah berdiri dua kerajaan maritim yang cukup kuat yaitu Bangkalan (Cakraningrat) dan Sumenep. Orang Madura juga mempunyai tradisi seni dan sastra tulis yang dapat dibanggakan, kendati naskah-naskah Madura itu sekarang sukar ditemukan lagi di daerah asalnya. Sastra tulis yang berkembang di daerah ini merupakan warisan peradaban Hindu dan Islam, dan memiliki keterjalinan dengan tradisi sastra Nusantara di luarnya khususnya Jawa dan Melayu.
Bahasa yang digunakan sebagai media pada mulanya adalah bahasa Jawa Madya, kemudian setelah kerajaan-kerajaan Madura seperti Sumenep dan Bangkalan melepaskan diri dari Mataram, penulis-penulis Madura baru menggunakan bahasa Madura sebagai media ekspresi untuk karangan-karangan yang mereka tulis. Bentuk-bentuk puisi dalam sastra Madura Lama itu sama dengan yang ada di dalam sastra Jawa dan Melayu. Tetapi dengan dihapusnya kerajaan Cakraningrat oleh Belanda pada awal abad ke-18 M dan kemudian Sumenep pada pertengahan abad ke-19 M, tradisi sastra tulis yang cukup dibanggakan lambat laun mengalami kemunduran.
Orang Madura memang masih menulis cerita dan sajak dalam bahasa ibu mereka sampai awal 1950-an. Tetapi karya mereka tidak berarti. Ini disebabkan karena tidak ada majalah atau koran berbahasa Madura yang memuat dan menyiarkan karya mereka. Kecuali itu sejak awal 1960-an sastra daerah tidak lagi dipelajari di sekolah menengah. Orang-orang Madura yang terpelajar, seperti orang terpelajar di daerah lain di Indonesia, memakai bahasa Indonesia untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan mereka. Pengetahuan tentang kesusastraan Indonesia, dan sastra Barat yang mempengaruhinya, mengubur pengetahuan tentang sastra daerah.
Sekalipun demikian, munculnya penulis-penulis Madura dalam kancah sastra Indonesia tergolong agak lambat. Baru pada pertengahan 1960-an ada dua penulis dari Madura yang karangan-karangan mereka dimuat dalam majalah sastra bergengsi yaitu Sastra dan Horison. Mereka adalah M Fudoli Zaini dan Iskandar Zulkarnaen. Fudoli tidak pernah menulis puisi. Ia adalah penulis cerpen yang rajin dan kontinyu. Adapun Iskandar hanya sekali saja sajaknya muncul dalam majalah Sastra pada tahun 1966 (saya lupa nomor dan bulannya).
Adapun sajak saya pertama kali dimuat dalam majalah Horison tahun 1966. Sampai akhir tahun 1970-an hanya ada dua penulis sastra dari Madura yang dikenal khalayak sastra Indonesia. Pada awal tahun 1970-an muncul seorang penulis sajak dari Prenduan, Sumenep. Yaitu Faisal Ismail. Namun tidak berapa lama sajak-sajaknya tidak ditemui lagi muncul dalam media cetak di Yogya dan ibukota. Penulis berikutnya adalah D. Zawawi Imron. Dia adalah penyair dari Madura yang fenomenal. Ia dididik di pesantren dan kemunculannya dalam persajakan Indonesia dapat dikatakan agak terlambat. Ia baru muncul pada ahir 1970-an dan mulai dikenal pada pertengahan 1980-an. Yaitu usai mengikuti pertemuan penyair 10 kota di Dewan Kesenian Jakarta pada akhir 1983.
Pada tahun 1987 beberapa penyair muda dari Madura diundang oleh Dewan Kesenian Jakarta untuk mengikuti acara Puisi Indonesia 1987 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Di antaranya ialah Arya Mustafa Sappan Moekri (kini almarhum), Syaf Anton Wr, Ahmad Nurullah, Jamal D. Rahman, dan Masduki Baidawi. Di luar nama-nama itu mungkin nama-nama lain, namun kurang dikenal karena karya-karya mereka lebih banyak dimuat dalam media lokal yang kurang begitu dikenal di kota atau daerah lain.
Kegiatan penulisan sastra, khususnya sajak, di kalangan penulis asal Madura mulai tampak marak memasuki dekade 1990-an. Beberapa faktor pendorongnya dapat disebutkan. Pertama, adanya program sastrawan masuk sekolah yang diselenggarakan oleh majalah Horison. Dari kegiatan ini muncul komunitas-komunitas penulis muda di beberapa pesantren dan sekolah menengah di pulau Madura. Kedua, munculnya media-media lokal yang rajin menerbitkan karangan para penulis muda.
Pada dekade 2000-an, Madura mengalami bom penulisan sajak. Penulis-penulis muda bermunculan di berbagai pelosok pulau itu, terutama dari wilayah kabupaten Sumenep. Di kabupaten ini terdapat dua pesantren besar yaitu Al-Amien di Prenduan dan Annuqayah di Guluk-guluk. Dua pesantren ini sering menyelenggarakan kegiatan sastra, bahkan sejak akhir dekade 1980-an sering kedatangan penyair-penyair dari luar pulau.
Saya tak bisa menjelaskan secara rinci mengapa bom penulisan sajak di kalangan penulis-penulis muda dan remaja Madura mengambil waktu pada awal dekade 2000-an. Begitu inspiratifkah Madura bagi kaum mudanya sehingga jiwa mereka tergerak untuk menuliskan pengalaman batinnya dalam ungkapan puitik sastra? Menurut saya, atau tepatnya menurut pengalaman pribadi saya, Madura memang inspiratif.
Lautnya dan pantai-pantainya yang indah, kehidupan masyarakatnya yang bersahaja dan kaya dengan kearifan religius, sering sangat menyentuh hati dan pengalaman tersentuh itu tidak sukar dijelmakan ke dalam ungkapan puitik sastra. Baik alam maupun manusia yang mendiami pulau itu sama-sama memiliki karakter atau kepribadian yang menarik. Di pulau ini juga kita temui banyak kearifan lama yang sumber-sumbernya bisa dilacak pada perkembangan kebudayaan Hindu dan Islam. Orang Madura, terutama di wilayah kabupaten Sumenep dan Pamekasan sangat menghargai pencapaian intelektual dan spiritual, sebagaimana tampak pada penghormatan mereka kepada ulama yang mumpuni dalam ilmu keagamaan dan tasawuf.
Harus mencari bibit baru untuk ditanam…