Tetapi apakah ini merupakan jawaban yang tepat terhadap pertanyaan yang telah dikemukakan, saya tidak tahu. Namun pertanyaan mengapa bom penulisan sajak di kalangan anak muda Madura mengambil masa pada tahun 2000-an, mungkin jawabannya bisa di temukan di tempat lain. Sebenarnya faktor pendorongnya selain apa yang telah saya sebutkan, yaitu adanya tradisi penulisan sastra dan kegiatan sastra yang telah berkembang di suatu daerah, bisa dicari pada pesatnya perkembangan teknologi informatika. Maraknya anak muda berkomunikasi melalui jasa internet di dunia maya bisa jadi juga menjadi pendorong banyak anak muda, bukan hanya di Jawa dan Madura tetapi di daerah lain, untuk mengasah diri dalam dunia penulisan. Tetapi karena saya bukan ahli informartika, saya tidak akan menjawabnya dari jurusan ini. Saya menjawabnya dari jurusan lain, yaitu kondisi kemanusiaan di mana kita hidup sekarang ini.
Kita semua tahu, dewasa ini kita hidup dalam apa yang disebut era global. Kehidupan kita sebagai bagian dari warga sebuah planet yang disebut bumi, tidak lagi dicetak semata-mata oleh agama, kebudayaan dan organisasi sosial tradisional dimana kita hidup. Jadi tidak sebagaimana sebelumnya. Dengan kata lain kepribadian kita tidak lagi dibentuk oleh kebudayaan yang tumbuh di tempat kita tumbuh besar. Juga tidakoleh agama yang kita pelajari bentuk-bentuk peribadatan dan aturan-aturan formalnya.
Dengan kata lain sebagian besar dari kita, terutama yang hidup di kota, telah tercerabut dari akar sosial, dari akar budaya, dan dari akar terdalam dari ajaran agama yang kita anut. Namun demikian samar-samar akar-akar yang saya sebutkan itu tampak jejaknya mempengaruhi dalam jiwa kita. Pengaruh itu sering muncul dari lubuk bawah sadar kita. Ia tampak misalnya ketika seseorang menanggapi persoalan yang sedang hangat dalam masyarakat. Banyak dari kita yang enggan menanggapi persoalan berdasar kearifan tradisional yang telah kit pelajari dari tradisi, dan lebih memilih menanggapinya dengan berdasarkan kearifan yang kita pelajari di lembaga pendidikan formal. Kita tahu ilmu dan filsafat yang kita pelajari di perguruan tinggi kita umumnya berasal dari Barat.
Begitulah kebanyakan dari generasi sekarang, dapat dikatakan hidup dalam kondisi kehilangan “akar jati diri”. Ketika rasa kehilangan itu muncul maka seseorang akan menjadi risau dan rindu untuk kembali kepada jati dirinya. Ia mulai mencari kembali akar sosial dirinya, akar budaya dan akar agamanya yang asal. Ini merupakan faktor penting yang mendorong banyak anak muda dewasa ini mencari saluran yang sesuai bagi diri mereka untuk mengekspresikan diri. Saluran itu ditemukan dalam seni-musik, seni lukis, sastra, film, tari, dan seni yang lain. Menulis sajak atau puisi menjadi salah satu pilihan yang memungkinkan seseorang menemukan dirinya kembali sekaligus mengekspresikannya. Tidak jarang lahirnya sajak menjadi sebuah terapi, obat yang mujarab untuk meredam kegelisahan.
Saya ingin memberi contoh sajak A. Warits Rovi, yang karya-karyanya disajikan pada halaman awal antologi ini, “Lelaki Sabit”. Walau ini bukan sajaknya yang bagus, namun terasa betapa kentalnya keresahan jiwanya akan jati dirinya:
Ayah, kau asah kisah-kisah
Dengan lidah yang basah
Tulang dadamu lengkung seluas patung
Tempatku pulang menemukan kampung
Dan matamu kilau alis berjurai
menemaniku memandang bulan
kau asahan lengkung yang berkilai
sabit yang tenang digenggam tangan
: kuarit rimbaku dengan dirimu.
Lahir di Sumenep pada tahun 1988, penulis ini menjadi guru di Madrasah Tsnawiyah di sebuah desa di Gapura Timur, sekitar 12 km dari kota Sumenep. Tempatnya tinggal adalah sebuah desa yang cukup terpencil, namun ia bisa menyiarkan sajak-sajaknya melalui banyak media lokal dan nasional. Ia sering menggunakan citraan-citraan atau imaji-imaji lokal dengan cara yang cukup tepat.
Keresahan dan sekaligus kerinduan akan akar juga ditemukan dalam sajak penulis Ahmad Subki, “Nila Rindu” (2 dan 3):
2
ketika rambutmu basah
kemarau di terik rinduku kembali merekah
semerbak berbunga menggali kubur segala aroma
hingga sirna gersang derita ke haribaan sorga
3
sebelum usai rembulan menyepuh malam
kita pugar suara adzan menjadi pualam
dan di keningmu telah kuabadikan segenap malam
meski usia kerap kali menawarkan kelam.
Harus mencari bibit baru untuk ditanam…