Bait-bait sajak ini melukiskan kerinduan penulis kepada akar budaya dan lingkungan alam di mana dia berasal. Kita pugar suara adzan…, katanya. Benar penduduk Madura masih beragama Islam, namun penghayatan terhadap ajaran Islam kini mulai mengalami proses pendangkalan. Agama memang masih hidup, tetapi tinggal sebagai seperangkat bentuk peribadatan formal dan ritual. Ajaran agama tentang spiritualitas dan moral tidak banyak lagi orang yang menghayati atau menghidupkannya. Ia nyaris karam di tengah kehidupan yang serba komersial.
Adalah juga cukup menarik bahwa untuk menggambarkan kerisauan atau keresahan hatinya berkenaan dengan ketercerabutan masyarakat dari akar budayanya dilukiskan oleh penulis seperti Badar Adiluhung dengan menggunakan citraan-citraan yang diambil dari alam laut:
walau mata harus setia pada malam dan tenaga
terkuras setiap kerekan, tapi ikan-ikan lebih suka
pada gemerlap lampu, seterang tujuanmu, searah
lurus dengan arus melempar pancing
kau bernasib nelayan demi batih sejahtera, sesabar
bambu penampung rumput laut yang sama-sama
menunggu, menunggu sampai panen, menunggu
sampai pukat menampung banyak ikan, kau tak
mengeluh, serupa malam selalu pecah ke dalam tubuh
sampai gelombang menyapa matahari kembali.
Penulis cukup akrab dengan kehidupan nelayan dan cukup berhasil pula mengangkat kehidupan nelayan yang sehari-harinya bertarung melawan angin dan gelombang di tengah laut. Ia berhasil pula menjadikan citraan-citraan itu sebagai pengucapan puitik yang melahirkan semacam kearifan tertentu tentang hidup. Bukankah pada bagian awal sajaknya Badar menulis: hatimu adalah tiram rajung dan kerangka/ bambu pagan diterjang ombak, menancap/ ke dasar laut, adalah tubuh akrab dengan/ desir angin dan gemuruh”.
Kelekatan hati penulis-penulis Madura kepada tanah airnya yang dilingkungi laut, berbukit-bukit kapur dan tandus, namun jiwa manusianya subur dengan kearifan dan religius, bisa dilihat juga dalam sajak Badrul Munir Chair. Misalnya dalam sajak “Selat Madura”:
Selepas siang, air tenang menyunggi kapal-kapal
merapat ke pintu gerbang pulau kenangan
pulau yang diapungkan tumbal-tumbal
jembatan penyeberangan
Langit biru, laut biru. Semuanya mengharu
biru layaknya perkabungan melepas keberangkatan
anak-anak pulau, tembakau, garam, dan
hasil laut yang pergi meninggalkan ibu
Kulihat dermaga yang selalu membuka pintu
pada kepulangan. Waktu telah mengabadikannya
menjadi lumut, karat, goresan dan sejarah usang.
Ada nada sedih, ada nada pilu dan resah yang tak bisa disembunyikan. Badrul seolah-olah menyesalkan pembangunan jembatan Suramadu yang menghubungkan Surabaya dengan pulau Madura melalui jalan darat. Adanya jembatan ini membuat pulau Madura menyatu kembali dengan pulau Jawa, dan lambat laun akan melenyapkan identitas Madura sebagai sebuah pulau yang unik yang penduduknya memiliki ciri budaya dan kehidupan keagamaan tersendiri.
Sajak dapat berkomunikasi kepada pembacanya tanpa terlebih dahulu dimengerti. Begitulah dikatakan oleh T.S. Eliot, penyair Inggris terkemuka abad ke-20. Banyak contoh sajak karangan penyair Indonesia terkemuka seperti Amir Hamzah dan Chairil Anwar seperti apa yang dikatakan Eliot. Ini karena sajak sejatinya adalah ungkapan perasaan dan pikiran yang menggunakan bahasa kias (majaz) dan bahasa kias itu tidak berfungsi menjelaskan sesuatu agar seseorang paham, jadi tidak seperti bahasa keilmuan atau percakapan sehari-hari. Contohnya adalah bait sajak “Padamu Jua” Amir Hamzah:
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar setia selalu.
Harus mencari bibit baru untuk ditanam…