Sajak-Sajak Penulis Madura

Tanpa terlebih dahulu kita mengerti apa yang dimaksudkan sebagai ”Kau” dalam sajak itu, kita merasa tersentuh oleh citraan-citraannya. Melalui citraannya penyair membangun gambaran tentang suasana hati yang dialaminya. Unsur utama bahasa kias adalah metafora, citraan dan perlambang (simbol). Itu dipenuhi oleh penyair. Kata-kata hadir sebagai citraan dan sajak menjadi ide yang melampaui bahasa.

Dari antologi ini, saya ingin mencontohkan sajak “Ojung” karya Ebi Langkung. Ojung adalah kata dalam bahasa Madura yang digunakan untuk menyebut upacara memanggil hujan ketika musim kemarau dirasakan begitu lama dan sumber-sumber air mulai kering. Tanpa mengerti terlebih dahulu bahwa yang ingin dinyatakan penulis berkaitan dengan upacara memanggil hujan, sajak itu dapat berkomunikasi kepada kita dengan baik:

bila sumur kering
aku gelar ring
dengan selonjor pering

bukankah pertarungan lebih baik
ditunjukkan daripada disembunyikan, tuan

ke dalam tubuh aku mencari air
ke dalam urat aku mencari hujan
menetaslah, menetaslah, pintamu

hingga merah memar seperti bara
hujan tak kunjung datang
sedap bau tembang terus dilantunkan
sedang asap dan kemenyan telah
mengembang ke sela-sela pohon kemarau

dan pertarungan ini tidak akan berakhir, tuan
meski pulangmu sebatas bersunyi-sunyi.

Tetapi sayang, sajak yang nyaris berhasl ini diganggu oleh pemakaian citraan atau kata-kata yang dipaksakan. Misalnya ungkapan pada bait pertama, aku gelar ring/ dengan selonjor pering. Kata-kata tuan juga tidak begitu perlu. Citraan “menetas” juga kurang tepat penggunaannya. Baris terakhir sajak ini pula terasa kurang menyentuh. Penulis dituntut melakukan pendalaman lebih jauh terhadap pengalaman batinnya. Seorang kritikus puisi dari Tiongkok, Wang Fu-chih mengatakan bahwa, seorang penyair dapat melahirkan puisi yang bagus dan menyentuh apabila dalam dirinya memiliki tiga macam ch’i (energi kreatif). Tiga energi kreatif itu ialah: ch`i bakat, ch`i idea, dan ch`i kata-kata. Banyak penulis dalam antologi ini berkakat, tetapi kurang menguasai ide puitik dan bahasa kias. Perhatikan misalnya sajak lain Ebi Langkung, “Pohon”. Bait pertama sudah cukup bagus:

yang dipanjat adalah huruf-huruf juga
angka-angka yang tak berpangkal.

Akan tetapi pada baris-baris berikutnya penulis seperti kehilangan akal:

rapi, khusyuk, tertib dan kadang terbahak
yang keutuhannya semacam para komandan berdiri tegak
juga perangainya buyar lantas ditenggak.

Hal yang sama terjadi pada sajak “Seperti Abu dan Hujan” En Kurniadi. Saya kutip saja bait  pertama dan kedua, seperti berikut:

seperti aku dan hujan
hidupmu diterbangkan angin dan
lahir ditentukan musim

entah berapa lama kau di sini kekasihku
kau ciptakan embun dari embun
kau lahirkan basah, daun-daun juga tanah
yang semalam kau curahkan jadi puisi
sedang di alismu yang syahwat
aku termangu meminum kenangan.

Baris terakhir dari kutipan ada kata-kata yang dipaksakan. Ungkapan menjadi janggal dan kurang enak. Tanpa kata-kata syahwat, pembaca yang jeli akan merasakan suasana erotis dari sajak ini. Hal yang sama didapati dalam sebagian besar sajak dalam antologi ini.

Tentu saja saya tidak akan membicarakan semua penulis yang sajak-sajaknya dimuat dalam antologi ini. Waktu yang diberikan kepada saya sangat terbatas. Lebih seratus sajak dalam buku tak mungkin dapat saya baca semua di tengah banyak kegiatan saya selama dua minggu terakhir bulan Januari ini. Namun saya ingin memberi catatan pada beberapa penyair, yang menurut hemat saya, beberapa sajak mereka cukup matang. Di antaranya Bernando J. Sujibto, Sofyan RH Zaid, dan Raedu Basha. Perhatikan sajak “Menunggu Matahari Pulang Di Hierapolis” Bernando J. Sujibto.

aku sendiri
menunggu matahari pulang di hierapolis
di sebuah kolam mata air teriris bagai kapas
dari atas bukit sebuah kastil menyala cemas

bulan tak sedang indah
pucat di tebing batu-batu kapur

malam ini aku tersesat di jalan pulang
kembali atau pergi adalah bisikan jalang
menyaksikan kaki para peziarah
saling menghapus
timbul dan tenggelam
di jalan-jalan
pandangku rabun.

Sajak ini dapat digolongkan sebagai sajak impresionis. Penulis menyampaikan pengalaman yang dijumpai dalam perjalanan ke sebuah daerah di Turki yang di tempat itu terdapat bekas peninggalan zaman Romawi. Bukan pemandangan di tempat ia kunjungi itu yang penting disampaikan, melainkan kesan pribadi penulis yang ditekankan.

Response (1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.