Salah satu tapak dakwah KH Mas Mansur pernah saya tulis dengan tajuk “Gelora Islam Sang Sastrawan Besar Madura, Raden Musaid Werdisastro – Penulis Babad Sumenep”
Sebagai ulama muda yang kharismatik Kyai Haji Mas Mansur berhasil membawakan kehalusan dakwah yang menyentuh sehingga memberi pengaruh yang luar biasa kepada pribadi Raden Musaid, beliau memilih jalan yang tidak biasa ditempuh oleh kebanyakan budayawan dan kaum adat yang mengambil jarak atas gerakan dakwah, semangatnya justru meluap – luap untuk mengikuti cara beragama yang diajarkan oleh mas mansur yang berusaha menempatkan agama dan budaya secara proporsional tanpa mengesampingkan adat / budaya yang bersendi syara’ dan berpilar kitabullah.
Raden Musaid menjadi meresapi benar ajaran KH Mas Mansur, beliau secara tegas menolak dikotomi NU-Muhammadiyah, menurutnya NU-Muhammadiyah atau Ormas keagamaan lainnya sama – sama bisa menjadi jembatan pergerakan berbasis keagamaan yang bisa mengantarkan ummat menggapai pencerahan spiritual.
Demikianlah, Siapapun yang mengalami perjumpaan dengan KH Mas Mansur Insyaallah akan menanggalkan fanatisme golongan dan keormasan karena beliau yang pernah menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah (1937 – 1943) senantiasa mengajak kepada jalan-jalan persatuan menuju kebulatan tekad dan cita – cita menggapai Indonesia Merdeka.
Rintisan Gerakan Kebangsaan KH Mas Mansur
Nasionalisme KH Mas Mansur dapat dibuktikan dari berbagai organisasi yang dipelopori dan dibinanya yang kebanyakan menggunakan nama belakang Wathan (Tanah Air) diantaranya Lembaga Pendidikan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air), Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air), Khitab al-Wathan (Mimbar Tanah Air), Madrasah Ahl al-Wathan (Keluarga Tanah Air) di Wonokromo, Far’u al-Wathan (Cabang Tanah Air) di Gresik dan Hidayah al-Wathan (Petunjuk Tanah Air) di Jombang.
KH Mas Mansur sangat dekat dengan KH Abdul Wahab Hasbullah (Ulama kharismatik NU), keduanya sama-sama pernah belajar di Makkah pada Kiai Mahfudz yang berasal dari Pondok Pesantren Termas Jawa Tengah, Beliau berdua membentuk majelis diskusi yang diberi nama Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di Surabaya pada 1914. Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas.