Fenomena bahasa ini sering dipakai sebagai salah satu bukti antropogeografi untuk menuniukkan bahwa nenek moyang orang Madura merupakan pendatang dari daerah utara yang terpisah oleh lautan. ltutah sebabnya mengapa rumah-rumah tradisional Madura hampir selalu membelakangí utara atau pedalaman yang pernah mengancamnya. Rumah-rumah adat tadi dibuat menghadap ke setatan, addhep ka lao’, ke laut, atau ke masa depan yang penuh harapan.
Ternyata kebiasaan menghadapkan rumahnya ke selatan ini diwarisinya dari leluhur mereka yang keturunannya sekarang masih tinggal di daratan Asia Tenggara. Jadi alasan orang Madura menghonmati arah setatan ini sangat berbeda dengan masyarakat Jawa yang dipengaruhi mitologi Nyai Loro Kidul sehiugga mengagung-agungkan laut selatan. Karena pulaunya terpisah jauh dari Samudra Hindia, sang nyai tidak memunyai akar sejarah dalam tradisi asli kebudayaan rakyat Madura.
Hasil penelitian sejarah belum dapat memastikan apakah sesampainya di pulau yang akan menjadi tempat huniannya, cikal bakal bangsa Madura itu menjumpai penduduk ali nusantara. Jika ada, penduduk asli tersebut akan dapat didesak dan dialahkannya sebab mereka masib berkebudayaan batu tua (paleolitik). Adapun pendatang baru dati utara itu telah berkebudayaan batu barn (neolitik), seperti ditunjukkan oleh peninggalan mereka yang ditemukan di Madura. Jadi mereka telah berkemampuan mengupam atau mengasah batu menjadi kapak persegi, yang dapat pula dijadikan pacul.
Penguasaan teknologi membuat pacul mengisyaratkan bahwa mereka telah mampu bercocok tanam. Macam tanaman yang dibudidayakannya tentu bersesuaian dengan lingkungan alam Madura yang memiliki musim kemarau panjang dan kering. Dengan demikian tanaman pertanian mereka mungkin terbatas pada ubi Dioscorea alata, gembili Dioscorea esculenta, gadung Dioscorea hispida, suweg Amorphophallus campanulatus, pisang Musaxparadisiaca, dan mungkin pula jali Coixlacryma jobi, serta jawawut Setaria italica, di samping padi gogo Oryza sadva. Di hutan monsun tropik pulau Madura mereka tentu menemukan labing Tacca palmata, kesambi Schleichera oleosa, mangga Mangifera indica, duwet Syzygium cumini, sukun dan keluwih Artocarpus altilis, siwalan Borassus sundaicus, kelapa Cocos nucyfera dan tumbuhan lain yang Iangsung dapat dipanen dan dikonsumsi hasilnya.
Mereka pun sudah mampu menernakkan ayam dan sapi serta kerbau, serta memelihara anjing untuk keperluan berburu. Sebagai bangsa pelaut, kehidupan bernelayan menangkap ikan di laut lepas tentu diteruskan. Untuk keperluan mengolah makanannya mereka menguasai teknologi pembuatan gerabah dan tanah liat. Jadi mereka telah memiliki periuk belanga buat rnemasak dan laya untuk piring tempat makan.
Kemampuan Bercocok Tanam dan pola hidup seperti digambarkan di atas menyiratkan terdapatnya kehidupan bermasyarakat menetap di kalangan mereka, Mereka hidup di tempat-tempat tinggal sederhana yang didiami secara berkelompok. Suatu kelompok mula-mula akan terdiri atas satu keluarga tetapi lama kelamaan membesar dan merupakan gabungan beberapa keluarga. Tegalan-tegalan sederhana sebagai hasil kegiatan berhuma atau berladang berpindah akan makin berkembang menjadi lahan pertanian yang terandalkan hasilnya. Tanahnya umumnya diolah oleh para pria, sedangkan penanaman dan pemeiharaan serta pemanenan hasilnya dikerjakan oleh para warga wanitanya.
Dapat diduga bahwa pada waktu itu peranan ibu dalam keluarga mulai dipentingkan. Mereka ini terus ada di rumah untuk mengurus rumah tangga dan memejihara serta rnendidik anak. Kaum pria sering terpaksa meninggalkan rumah berhari-hari lamanya untuk berhuma, berburu di hutan, atau menangkap ikan di laut guna mendapatkan sumber protein hewani. Tradisi pria berlama-lama jauh dari rumah seperti ini (sampai sembilan buian dalam setahun) masih terus bertahan hingga sekarang di kalangan nelayan dan pulau-pulau kecill tertentu Madura timur. Agaknya keadaan seperti inilah yang di Madura kemudian menimbulkan penghormatan dan kecintaan pada ibu, yang walaupun tidak terkentara tetapi sebenarnya melebihi bapak, dan juga melebihi sesepuh keluarga lainnya.
Dengan demikian telah mulai terjadi pembagian tugas yang tumbuh sejalan dengan kemajuan budaya, peradaban, dan kehidupan bermasyarakat mereka. Oleh karena ini, dalam suatu wilayah lalu terjadi jalinan hidup komunal yang saling menunjang untuk memenuhi berbagai macam keperluan. Perasaan dan hubungan kekeluargaan di antara mereka diperkirakan erat dan akrab. Orang yang seketurunan dan kemudian juga orang-orang yang hidup se daerah, akan selalu bekerjà sarna dan saling tolong-menolong. Kehidupan bergotong royong dengan menyelenggarakan jhãk-ajhãak (kerja bertolong-tolongan secara beramai-ramai) untuk keperluan bersama yang terkadang masih tersaksikan di pedalaman Madura masa kini, diduga sudah merupakan pola kebiasaan masyarakat Madura purbakala.
Perkembangan ini akan memerlukan pengorganisasian kehidupan yang teratur. Secara pelan-pelan terbentuklah satuan-satuan masyarakat yang bebas merdeka dengan batas-batas wilayah yang jelas. Lambat laun dalam masyarakat ini muncul seseorang yang diakui terbaik di antara sesamanya (primus inter pares) sehingga lalu dituakan. Ia terpiih karena dianggap memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan anggota warga yang lainnya. Demi kepentingan hidup bersamanya, semuanya lalu akan memerhatikan dan mematuhi kepemimpinannya.
Selain ini, dalam upaya meningkatkan kesentosaan kebidupan masyarakatnya akan muncul pula seseorang yang dianggap memiliki kemampuan menjaga kesehatan jasmani mereka. Timbullah profesi dukun, yang kemudian juga akan memeihara kesejahreraan rohani anggora masyarakarnya. Unmk keperluan yang terakhir ini lama kelamaan para dukun akan berfungsi sebagai pemandu upacara-upacara adat dan kepercayaan. Penghormaran kepada pemimpin dan dukun ini lalu menimbulkan kultus yang ntelahirkan pemujaan roh nenek moyang. Kehidupan penduduk Madura yang makin mapan memang meningkarkan kesadaran mereka akan keterganrungannya pada tanah, sungai, pohon, ikan, dan benda-benda alam lain.
Sebagai penganut animisme mereka tentu beranggapan bahwa segala sesuatunya memiliki anima atau jiwa. Kepercayaan ini menumbuhkan kebudayaan yang bersifat spiritual, yang lebih mementingkan rohani dibandingkan dengan materi. Perkembangan selanjumya perilaku begini akan menumbuhkan pula kepercayaan tentang adanya hubungan antar yang mati dan yang hidup, yang lalu menimbulkan pemujaan pada para leluhur.