Sejarah Kehidupan Leluhur Orang Madura

Mengolah tanah tegalan untuk kebutuhan pertanian

Untuk keperluan kepencayaannya ini mereka mendirikan bangunan-bangunan megalitik, misalnya bartu menhir (batu besar tegak memanjang yang dibiarkan kasar tidak digarap) seperti yang pernah ditemukan di desa Kaladi di Pulau Sepudi. Baturn tadi sengaja didirikan untuk dijadikan medium dalam memeringati orang yang dlihormati dengan memerlakukannya sebagai wahana tempat menampung arwahnya. Peninggalan berupa batu kenong – yang tendiri atas kumpulan selusin batu berbentuk slinder pendek dengan tonjolan di atasnya seperti gong kedil – tersaksikan juga di pulau Sepudi.

Batu-batuan yang oleh penduduk setempat disebut bato egghung  atau toggbung ini juga merupakan salah satu bukti pernah berlangsungnya tradisi pemujaan leluhur pada zaman purba di Madura. Bila dibandingkan dengan temuan serupa dan daerah Besuki, bato egghung Sepudi ini hanya merupakan bagian yang tersisa dan sebuah kompleks bangunan megalitik yang bias.

Setapak demi setapak budaya dan peradaban orang Madura purba tadi terus mengalami kemajuan yang berarti. Seirama dengan penkembangan yang dialami suku-suku bangsa lain di nusantara, pada waktunya orang Madura juga memasuki zaman penunggu. Masa ini ditandai dengan dikuasainya teknologi pengolahan bijih logam. Pada masa perundagian ini muncullah dalam masyarakat segolongan orang yang berkemampuan khusus bertukang membuat peralatan seperti pisau, tombak dan mata pancing, serta pelbagai macam barang kerajinan. Keterampilan mereka membuai gerabah juga makin meningkat kecanggihannya. Kebiasaan pelubangan kuping, pemotongan rambut, dan perataan gigi (apapar bân aporet kata orang Madura) mungkin dimulai saat ¡tu, dan dilakukan sebagai bagian upacara  kepercayaan adat purba.

Pengetahuan masyarakat tentang pemeliharaan ternak juga bertambah baik. Di tempat-tempat yang memungkinkan, teknologi bersawah tadah hujan mulai dikembangkan. Perkembangan ini sejalan dengan peningkatan pengetahuan dan kemampuan mereka dalam memilih kultivar dan jenis tanaman budi daya. Pertanian makin rnaju karena kemajuan teknologi dalam masa perundagian memungkinkan terjadinya penyempurnaan perkakas bercocok tanam. Semua kemajuan ¡ni menyebabkan tumbuhnya pengalaman tentang waktu yang tepat untuk turun ke lahan pertaniannya.

Dengan demikian pengetahuan mereka tentang musim dan ikiim pun bertambah pula. Mereka tahu bahwa munculnya bintang Waluku di langit menandakan datangnya musim tanam yang tepat. Sejalan dengan ini pengetahuan mereka tentang perbintangan juga meningkat, dan pasti terus dikembangkan karena sangat bermanfaat untuk menentukan arah mata angin dalam melayari laman untuk menangkap ikan atau untuk keperluan lainnya. Sesudah ratusan tahun di Madura, para pendatang dari utara yang makin maju peradabannya tadi menjadi beranak pinak dan berpencaran ke seluruh pulau. Bahkan pulau-pulau kecil di sekitar Madura dihuninya juga, seperti pulan Kangean dan Sepudi di timur, pulau-pulau Puteran, Gili Raja, Gili Genteng dan Mandangil di Selat Madura, dan juga pulau-pulau Masalembu serta Bawean di Laut Jawa.

Mereka bermukim dalam kelompok-kelompok yang besarnya ditentukan oleh kesuburan tanah atau daya dukung ekologi setempat. Besar kelompok ini dapat sampai ribuan orang sehingga kemudian membentuk satuan-satuan tersendiri.Sekalipun semuanya masih terikat satu sama lain oleh kesamaan bahasa, lama-kelamaan akan terjadi dialek setempat, yang bertahap perbedaannya dari barat (Bangkalan), tengah (Sarnpang dan Pamekasan), timur (Sumenep), dan timur sekali (Kangean). Lambat laun di dada setiap orang timbul pula rasa keterkaitan pada tanah kelahiran dari pada kelompok masyarakat yang menghuninya, karena kebersamaan nasib peruntungan dan keserbasamaannya. Jarak geografi pusat-pusat permukiman yang terhitung berjauhan menurut ukuran zamannya menyebabkan perbedaan di antara mereka makin mantap.

Apalagi karena perkembangan setiap wilayah selanjutnya mengikuri alur sejarah yang agak berlainan pula satu sama lainnya. Peninggalan purbakala berupa kapak dan bejana perunggu (sebagai pengejawantahan peradaban Dongson) yang setipe dengan yang ada di daratan Asia Tenggara pernah ditemukan di Sampang. Ini memberi petunjuk tidak terputusnya hubungan Madura purba dengan daratan Asia, yang mungkin dilakukan untuk keperluan  perdagangan.

Tetapi karena pulaunya tidak menghasilkan komoditas perdagangan yang berarti untuk dipertukarkan, timbul dugaan bahwa mereka ini merupakan pedagang perantara. Mungkin pula bermodalkan  pengetahuannya tentang seni berlayar, pelaut-pelaut Madura menyediakan perahunya untuk membawa pedagang  berkebangsaanlain mengarungi lautan. Kegersangan Ìingkungan alam Madura dan miskinnya sumber daya alam yang dapat disadap untuk diperdagangkan merupakan faktor penentu perkembangan arah sejarah penghuni pulau itu seLanjutnya. Semuanya mendorong timbulnya suatu suku bangsa Madura dengan jiwa petualangan yang sangat sesuai sebagai pelaut, perantau, pedagang, ataupun pekerja yang ulet.

(diangkat dari buku “Lintas Sejarah Madura”, penulis Mien Ahmad Rifai, Penerbit: LPPM Universitas Trunjoyo Madura bekerjasama Penerbit Elmatera, Oktober 2017, halaman 1-11)

Terkait: Pengaruh Pengindiaan Dianut Orang Madura

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.