Pada dasarnya dalam penyebaran Islam di Nusantara, kiranya tidak dapat terlepas dari kurun waktu abad ketujuh, kesebelas, kedua belas, serta kelima belas termasuk pusat-pusat perkembangannya. Secara sepintas, walaupun tipis sekali perbedaannya, kiranya dapat dikenali tiga pusat pengembangan beserta pola-polanya.
Pertama; Pola Aceh, pola ini menunjukkan ke arah pembentukan tradisi yang bercorak integratif. Ciri yang demikian ini nampak antara lain pada prinsip bahwa : Islam dipandang sebagai landasan utama untuk bermasyarakat dan berkehidupan pribadi. Islam merupakan unsur yang dominan dalam komunitas kognitif yang baru maupun dalam paradigma politik yang dipakai sebagai ukuran kewajaran. Ulama dalam sejarah Aceh menjadi perumus realitas dan pengesah kekuasaan.
Kedua; Pola Jawa, di Jawa komunitas pedagang mendapat tempat dalam pusat-pusat kekuasaan pada abad ke sebelas. Kedudukan Walisongo dalam menyebarkan agama ke masyarakat dan masuk ke dalam keraton tak tersangsikan. Posisi Demak yang menjadi pusat hegemoni politik dan juga sebagai pusat penyebaran agama (Islam) menghadapi dua hal yaitu legitimasi politik dan panggilan kultural untuk kesinambungan. Konsep kekuasaan lama dalam bentuk “pulung” terus berlaku. Perpindahan keraton dari pesisir (Demak) ke pedalaman (Pajang) menyebabkan tiga lembaga utama yakni keraton sebagai pusat kekuasaan, pasar sebagai pusat pertemuan masyarakat, serta pesantren sebagai pusat pendidikan agama Islam, terpisahkan. Jalur melalui pesantren menjadi sangat penting, karena memiliki azas-azas keikhlasan, kesederhanaan, kesanggupan menolong dan mandiri, kekeluargaan serta kebebasan (A. Muhdlor, 1975, h. 147).
Ketiga ; adalah Pola Sulawesi Selatan, yaitu Pola islamisasi melalui keraton (pusat kekuasaan). Proses ini berlangsung dalam suatu struktur kerajaan yang telah memiliki basis legitimasi geneologis. Proses yang demikian terjadi pula di Maluku, Banjarmasin, Gowa-Tallo, dan Ternate. Karenanya pengiriman para bangsawan (putra Raja) ke pusat pendidikan Islam (Pesantren) di Jawa untuk belajar agama Islam, setelah studinya selesai menyebarkan Islam diwilayahnya.
Selanjutnya, para ahli sejarah telah sepakat bahwa Pasai merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia, sekalipun dalam waktu yang sama berdiri kerajaan Islam Perlak. Seorang pengembara dunia yang bernama Marcopolo dari italia yang hidup pada tahun 1254 – 1324 pernah mengadakan perjalanan kedaratan China, dalam perjalanannya singgah dikerajaan Pasai dan Perlak.
Tulisan bersambung
- Sejarah Masuknya Agama Islam di Sumenep (Bag. 1)
- Sejarah Masuknya Agama Islam di Sumenep(2)
- Sejarah Masuknya Agama Islam di Sumenep (Bag. 3)
Singgahnya di Perlak pada tahun 1292 masehi, dan berjumpa dengan Raja Pasai bernama Al Malik Al Saleh yang menjadi Raja Pasai kedua belas selama 24 tahun, yakni dari tahun 1276 hingga tahun 1300 masehi, beliau ber-audensi dengan Marcopolo pada tahun tersebut diatas. Tapi sebelum itu ada Raja Pasai yang bernama Al Malik Al Saleh yang nama aslinya Abdul Jalil Al Malik Al Saleh yang memerintah pada tahun 1027 sampai 1053 jadi selama 26 tahun, Raja ini sebagai Raja Pasai yang kedua, dan namanya sangat masyhur. Karena kemasyhurannya hingga terdengar ketelinga Syarif Makkah, yang kemudian Beliau mengutus Duta Istimewa bernama Syeikh Ismail.
sangat membantu
Terima kasih
semoga berguna bagi pemuda-pemudi sebagai generasi muda muslim..
amin