Sekitar Seni Tutur Madura dan Upaya Revitalisasi

Seni Bertutur Yang Hampir Hilang

Di Madura, dulunya hampir setiap orang tua bisa mendongengkan cerita-cerita menarik kepada anak atau cucunya. Demikian juga di wilayah-wilayah lain. Dongeng adalah kegiatan sastra bertutur yang bisa dilakukan oleh siapa saja, asalkan bisa bicara dan menguasai bahasa. Anak-anak pun akan bisa mendongeng, asalkan punya kemampuan untuk menyampaikan perasaan, pengalaman, dan apa yang pernah didengarnya. Karena itu, kalau kita cari, diantara bentuk sastra yang paling dikuasai umat manusia diseluruh permukaan bumi adalah dongeng. Keistimewaan dongeng adalah, bahwa dalam mendongeng, orang tidak memerlukan syarat apa-apa, asalkan bisa bicara menuturkan alur cerita, dan dimengerti oleh pendengar, cukuplah sudah.

Namun, bila penataan aspek estetik semakin ditingkatkan, dongeng akan terdengar lebih indah dan sekaligus lebih menarik, sehingga pendengar tidak akan beranjak dari tempat sebelum dongeng benar-benar berakhir. Akan tetapi di zaman yang semakin modern ini, dengan media elektronika yang semakin canggih, seni dongeng dan bertutur terasa mengalami surut karena didesak oleh kemasan media elektronik yang dilengkapi visualisasi.

Akan tetapi, bagi kota besar seperti Jakarta, saat ini dongeng mulai dirindukan orang. Dalam dongeng, di mana penutur dan pendengar bertatap muka secara langsung, agaknya ada hal lain yang mungkin tidak bisa disampaikan oleh media visual. Tidak mustahil bahwa pendongeng-pendongeng ulung seperti Kak We-Es Ibnu Sayy, Kak Seto, Kak Kusumo dan Miing Gumelar ternyata sangat diminati oleh anak-anak.

Kita masih beruntung karena beberapa dongeng dari berbagai daerah sudah banyak diterbitkan sebagai buku. Penerbit Grasindo menerbitkan buku “Cerita Rakyat Madura”. Namun dongeng sebagai kegiatan seni bertutur seperti baca puisi dan cerpen, sudah sangat jarang ditemukan. Para orang tua dan guru kini banyak yang tidak bisa mendongeng dan membiarkan anak-anaknya didongengi oleh televisi.

Di Madura, dulunya dongeng merupakan cerita yang hidup ditengah-tengah masyarakat agraris. Bila bulan purnama datang dengan bentuknya yang bundar keemasan, anak-anak menggelar tikar dihalaman rumah. Nenek atau kakek mendongeng diatas tikar yang digelar dihalaman rumah dengan dikelilingi oleh cucu-cucunya. Kemudian angin sepoi bertiup mendesirkan daun-daunan.

Sungguh peristiwa yang romantis! Pada saat seperti ini, kerekatan dan kekerabatan menemukan bentuknya dengan berintikan jalinan kasih sayang antara generasi tua dan generasi penerusnya. Dongeng yang kadang-kadang berupa fabel yang mengisahkan tentang margasatwa akan sangat membantu menumbuhkan rasa kasih sayang pada binatang dan juga pada flora. Keistimewaan tumbuh-tumbuhan itu kadangkala berkaitan dengan sebuah legenda yang menyangkut nama lahirnya sebuah tempat. Bukankah nama-nama tempat di Indonesia, banyak menggunakan nama flora, seperti, Camplong, Ketapang, Kemuning, Gayam, Lombok, Sunda Kelapa, dan sebagainya?

Dalam penelitian, dongeng ternyata banyak menyimpan kearifan moral yang bisa mengetuk ’dunia dalam’ manusia, termasuk anak-anak, untuk belajar memaknai kehidupan dunia ini dengan pandangan cerdas yang bertumpu pada hati nurani. Sebab, pada umumnya, ajaran yang terdapat dalam dongeng adalah kasih sayang sesama manusia, cinta kasih kepada alam dan mahluk lainnya, di samping dongeng itu dapat memperkaya imajinasi.

Salah satu contoh dongeng yang didongengkan Pak Guru ketika saya duduk di kelas I SD, yang masih relevan dengan zaman, misalnya, dongeng dua ekor kambing yang saling ngotot untuk menyeberangi sungai dengan melewati titian kecil. Kambing hitam yang datang dari sebelah barat sungai ingin lewat lebih dulu, sedangkan kambing putih yang mau lewat dari timur sungai juga ngotot untuk lewat lebih dulu. Keduanya sama-sama ngotot, kedua kambing itu saling tubruk dan saling tanduk di atas titian. Karena titiannya sangat sempit, kedua kambing itu akhirnya jatuh kedalam sungai. Dari dongeng itu, orang dapat menarik hikmah, bahwa mengalah demi keselamatan bersama itu merupakan akhlak terpuji. Di daerah lain mungkin dongeng pertengkaran dua ekor kambing itu ada, tetapi untuk konteks pendidikan di Madura menjadi sangat relevan, dalam mengantisipasi budaya “Carok”.

Saya sangat setuju dengan Lewis Caroll yang mengatakan bahwa dongeng adalah “tanda kasih”. Berkisah dan berdongeng, seperti bakaba di Minangkabau, dan sinrilik di Sulawesi Selatan, tidak lain adalah memberi hadiah, sebagai tanda cinta kasih, keramahan dan kepedulian. Mendongeng adalah memberi kesadaran kepada pendengar tentang pengertian dan perasaan takjub, serta penghormatan pada kehidupan. Dongeng yang dituturkan seorang ibu kepada putranya, adalah bentuk kasih sayang yang merohani. Kegiatan dongeng sampai sekarang ini, seharusnya merupakan wujud dari kepedulian pada warisan budaya yang sengaja diorientasikan kepada tantangan masa depan.

Ketika banyak orang tidak peduli lagi kepada dongeng, sedangkan kearifan dari budaya asing juga tidak bisa diraup, maka upaya melestarikan kearifan dan budaya tradisional yang masih mungkin untuk diolah secara kreatif, sudah tentu akan punya nilai yang sangat berharga karena menunjukkan adanya tanggung jawab kebudayaan. Usaha ini sebagai langkah pertama yang harus disusul dengan langkah-langkah berikutnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.