Dalam bukunya “Mempertimbangkan Tradisi”, Rendra mengajak kita untuk bersikap selektif dan kritis terhadap tradisi. Warisan tradisi perlu dicermati, yang masih relevan dengan zaman perlu diolah secara kreatif sehingga tetap memberi daya hidup. Sedangkan tradisi yang tidak memihak kehidupan perlu ditinggalkan. Dongeng, sebagai warisan masa lalu perlu dikaji ulang, untuk kemungkinannya dihidupkan dengan selera baru dan kalau perlu diberi substansi baru. Bahkan, sastra tulis pun perlu mencari inspirasi dari sastra lisan yang disebut dongeng.
Sebagian generasi muda seharusnya ada yang tampil untuk merevitalisasi warisan budaya itu agar tetap terpelihara dan mampu memberikan inspirasi dalam perjalanan kebudayaan menuju masa depan. Adanya otoda, seharusnya dijadikan kesempatan emas untuk mengangkat dongeng dan sastra tutur lainnya sebagai salah satu sastra lisan yang nuansanya akan turut memperkokoh jatidiri kebudayaan dalam era globalisasi yang penuh tantangan.
Dalam sastra Indonesia modern, ternyata ada beberapa sastrawan yang menimba inspirasi dari dongeng. Upaya “kembali ke akar”, yang maksudnya akar budaya, telah diupayakan beberapa sastrawan dengan menimba inspirasi dari dongeng.
Sebagian dari puisi-puisi Rendra, seperti “Balada Terbunuhnya Atmo Karpo”, “Jante Arkidam“ karya Ayip Rosidi, “Gatoloco, “Asmaradana,”,dan “Pariksit” karya Goenawan Mohamad, adalah karya-karya yang digali dari khazanah dongeng. Bahkan balada-baladanya WS. Rendra merupakan dongeng yang dipadatkan dan dibumbui dengan metafor-metafor dan bahasa yang plastis.
YB Mangunwijaya menulis roman “Roro Mendut” yang alur ceritanya tidak harus taat kepada pakem. Romo Mangun berupaya untuk memberi substansi baru. “Roro Mendut-“nya Romo Mangunwijaya bukan perempuan yang putus asa, tetapi perempuan perkasa. Sedangkan Gus Tf menulis roman “Tambo” yang digali dari tambo Minangkabau, dengan upaya kreatif menghubungkan peristiwa dongeng dengan kehidupan kekinian, sehingga dongeng (tambo) Minangkabau itu dengan menggunakan teknik bercerita yang cerdik dan bagus, bisa dijadikan bacaan yang punya selera dan filosofi kekinian.
Dalam penulisan naskah teater banyak juga penulis menimba inspirasi dari dongeng. Antara lain Akhudiat dengan “Joko Tarub”, Aspar dengan “Samindara”, N.Riantiarno dengan “Sampek Eng Tay”, Arifin C Noer dengan “Dalam Bayangan Tuhan”. Dalam naskah yang disebut terakhir ini Arifin C Noer menampilkan tokoh dongeng si Malin Kundang. Dalam naskah itu, seorang anak durhaka yang kaya raya dan tidak mengakui ibunya itu telah menyorot ibunya dengan sinar laser sehingga sang ibu menjadi batu. Arifin melukiskan tragedi kemanusiaan yang mengerikan dengan rontoknya nilai-nilai mulia. Orang tua yang telah berjasa sudah tidak dimuliakan lagi, bahkan setelah ibu Malin Kundang menjadi batu, kemudian diserahkan ke museum sebagai fosil.
Beberapa karya sastra yang disebut di atas, meskipun digali dari dongeng, tetapi telah mengalami pengolahan kreatif, sehingga kehadirannya jelas memberi kesegaran baru bagi pembaca moderen. Itulah yang disebut Ignas Kleden, mengolah tradisi dengan cara yang tidak tradisional. Dongeng bisa dijadikan bahan baku sekaligus batu loncatan dalam melakukan olah kreatif. Daya kreatif itulah yang membuat sesuatu yang lama tampil sebagai sesuatu yang baru, segar, serta memberi visi baru bagi pembacanya.
Permasalahan menimba inspirasi dari dongeng, tergantung bagaimana sastrawan masa kini berolah pikir dan berolah rasa secara visioner, sehingga apa yang ditulisnya meskipun berasal dari sastra lama, tetapi tetap tampil segar dan menyegarkan karena ada nilai-nilai dan spirit baru yang bisa dijadikan bekal untuk merawat kehidupan dan peradaban.
Bahkan, dalam diskusi skenario, yang menjadi bagian dari agenda Festival Film Asean ke-14, di Jakarta 1984, Willy Karamoi dari TVRI menyatakan: “Untuk memperbaiki penulisan skenario, mungkin dapat dipertimbangkan kita belajar dari substansi akar mendalam wayang dari Jawa, maengket dari Sulawesi Utara, dagelan dari Jawa Tengah, lenong dari Jakarta, dan sebagainya. Walaupun dia melukiskan kebudayaan tradisional, tetapi dapat diangkat ke permukaan kontemporer”.
Daya kreatif adalah milik orang-orang yang selalu berpikir dan berpikir. Dari kegiatan berpikir itulah, secara sadar seorang penulis akan melakukan upaya mencari dan mencari. Karena dengan mencari itulah akan ditemukan sesuatu yang lain atau baru.
Salah satu contoh dari khazanah sastra tua dari Sulawesi Selatan, yaitu “Lagaligo”, telah dapat memberi inspirasi kepada Robert Wilson untuk mementaskannya dalam bentuk teater modern tanpa kehilangan kebugisannya. Teater itu dipentaskan keliling dunia dimulai sejak bulan Maret 2004 yang lalu.