Oleh : Kristianus Atok
- Kehidupan Agamis Yang Taat
Dapat dikatakan bahwa Islam merupakan identitas orang madura (Maulana, 1992). Agama islam sudah meresap dan mewarnai pola kehidupan sosial, seperti tampak pada cara berpakaian. Mereka (Kaum lelaki) selalu mengenakan songko’ (kopiah) dan sarung, terutama pada saat menghadiri upacara ritual, sholat jumat, bepergian, atau menerima tamu yang belum dikenal. Menonjolnya ciri keislaman orang madura itu ditandai pula oleh banyaknya pondok pesantren, dan lembaga itu menjadi tujuan utama menuntut pendidikan keagamaan. Namun, dalam kategori tertentu, islam di Madura tidak dianggap islam murni, tetapi disebut “islam local” (Woodward, 1989: 69-70), yaitu islam yang bercampur adat, seperti abangan atau agama Adam di Jawa (Geertz, 1989).
Selain melaksanakan ajaran agama dengan taat, orang madura mempertahankan kepercayaan asal yang mempercayai bahwa roh leluhur itu mempunyai kekuatan yang dapat memberikan perlindungan dalam kehidupan manusia. Hanya karena berbeda alam, kontak antara keduanya terbatas. Gejala seperti itu tampak pada kebiasaan masyarakat dalam melakukan upacaya selamatan tanah dan rumah (rokat), upacara mengirim doa melalui sajian makanan dan minuman kepada leluhur yang sebelumnya di beri doa oleh kiai, dan kebiasaan masyarakat mengubur jenazah di pekarangan atau tanah tegalnya.
Orang madura pada dasarnya berorientasi pada dua alam, yaitu alam semesta (makrokosmos) dan alam diri sendiri (mikrokosmos). Demikian halnya dengan dunia yang terbagi dua, yang bersifat berlawanan, yaitu dunia nyata (alam nyata) dan dunia gaib (alam transcendental). Dunia nyata adalah dunia manusia beserta makhluk hidup lainnya, seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan, sedangkan dunia gaib dihuni oleh berbagai makhluk halus, termasuk roh leluhur dan tuhan sang pencipta alam. Walaupun alam kehidupan manusia berada didunia nyata, keberadaannya tidak terpisah dari dunia gaib.
Keseimbangan hubungan antara kedua alam beserta segala isinya itu harus selalu dijaga supaya selalu tercapai kehidupan yang teratur dan harmonis. Kehidupan beragama ini sangat terasa di Rantau panjang, kegiatan seperti yasinan dan pengajian di masjid-masjid selalu ramai dipenuhi umat. Banyak orang Rantau panjang yang belajar agama Islam di beberapa pesantren di Pontianak dan bahkan di Jawa dan Madura. Ada pula kelompok yang mendalami agama dengan bergabung dalam tarekat/tarokat. Kondisi ini menurut penulis merupakan modal sosial yang penting, karena manusia yang bermoral dan berakhlak dengan penguasaan agama yang tinggi hidupnya semakin baik dan toleran terhadap orang lain. Penguasaan agama yang tidak penuh biasanya melahirkan kelompok militan dan fanatisme tinggi.