Jika diaktualisasi pada kenyataan sosial Madura, masyarakat kesatria nyaris tidak ada bakan lenyap. Ketika penulis melakukan wawancara untuk salah satu majalah (Muara di PP. Annuqayah Lubangsa) kemaren (15-17/12), ada kenyataan yang tabu di tempat keramaian (Sumenep sampai Sampang, utamanya daerah kota). Penulis melihat masih ada masyarakat yang tauran, dengan miras di tangannya, aksi kekerasn dan amoral. Sehingga, adalah hal yang dianjurkan bahkan wajib, jika nilai-nilai kesatria diinternalisasikan pada kehidupan masyarakat.
Seorang kesatria adalah orang (ramaja atau dewasa) yang mengutamakan pikiran jernih, dingin, tanpa adanya aksi kekerasan fisik sama sekali sehingga mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dia bergerak menggunakan pemikiran daripada tindakan anarkis. Pemikiran yang benar-benar terencana melalui berbagai pengalaman dan pengetahuan yang diperolehnya, sehingga tindakannya pun dapat berguna bagi kehidupan. Mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk. Mengutamakan cinta-kasih bagi sesama manusia tanpa memandang perbedaan kelas sosial dan profesinya.
Dus, menjadi masyarakat kesatria dalam konteks Madura adalah hal yang mungkin, dengan cara terus menerus mencitrakan nilai etika dan estetika yang terdapat pada keris, sehingga dapat berguna bagi masyarakat Madura sekarang dan di masa yang akan datang, demi menyelamatkan kebudayaan Madura dari gempuran globalisasi-modernisasi yang tengah dihadapi.
Tulisan bersambung:
- Afirmasi Nilai Etika dan Estetika Kebudayaan Madura, lihat:
- Selamatkan Kebudayaan Madura dari Gempuran Globalisasi, lihat:
- Memaknai Celurit Madura, lihat:
- Kebudayaan Madura Mulai Tergilas Zamanm, lihat: