Penulis A. Sulaiman Sadik,
Selintas keadaan Madura dan budaya masyarakatnya dalam berinteraksi dengan sesama maupun dengan orang lain.
Madura bagi orang luar sering menjadi isu yang menarik. Berbagai persoalan yang terjadi di Madura pasti menjadi perbincangan. Pro dan kontra bertemu dalam sebuah pertanyaan, apakah Madura itu? Mengutip pernyataan dramawan Ikranegara tentang Madura, Zawawi Imron mengatakan “Ini benua bukan pulau….” mungkin itu sebuah jawaban dari sebuah pertanyaan.
Sebelum Aryawiraraja menjabat wakil Singasari di Madura, beberapa prasasti di pulau Jawa telah menye butkan tentang Madura, antara lain “Prasasti Balawi” menyebutkan bahwa Sri Paduka Jayendradewi (Dyah Dewi Prajna Paramita) mempunyai sifat gunacaranu-rupita satya) para ‘sangat kaya raya’; anindiyeng raras madhura ‘cantik indah’, ‘manis tanpa cela’. Dengan demikian, Madura dalam “Prasasti Balawi” disebut madhura sebagai perumpamaan sifat putri Sri Paduka Jayendradewi atau Dyah dewi Prajna Paramita yang cantik, indah, manis tanpa cela (Bustami, 1995) dan di dalam kitab “Negara Kertagama” disebutkan bahwa Madura mempunyai makna: ‘manis, cantik, ramah tamah’ (Wojowasito, S., 1973: 218 dalam Atmojo, 1990).
Selanjutnya, Madura menjadi peletak batu pertama bagi pembangunan Majapahit. Kerajaan kerajaan di Pulau Jawa tidak pernah melupakan Madura dan mungkin ada semacam persepsi bagi mereka bahwa untuk menguasai pulau jawa terlebih dahulu harus menguasai Madura. Demikian pula dengan Sultan Agung dari Mataram, bahwa sejarah Mataram kurang lengkap tanpa memuat Madura di dalamnya.
Belanda-sejak zaman VOC hingga Hindia Belanda selalu berusaha ‘merangkul’ Madura. Bahkan, Belanda mungkin akan tetap berhati-hati dengan Madura. Peristiwa Cakraningrat III di kapal perang VOC dan peristiwa berdarah tahun 1597 di pantai Arosbaya atau Serbuan Umum bagi Tentara Pendudukan Belanda pada tanggal 16 Agustus 1947 di Kota Pamekasan adalah peristiwa tidak terlupakan sebab peristiwa-peristiwa tersebut merupakan neraka bagi Belanda.
- Madura “sebuah benua” kata Ikranegara, “Negara Madura” bukanlah cita-cita dari rakyatnya. Tabrani dari Pamekasan merupakan sahabat Mohammad Yamin yang berjuang di forum kebangsaan sebagai bukti bahwa etnik Madura sejak Sumpah Pemuda di tahun 1928, sebenarnya sudah merupakan bagian tak terpisahkan dari Bangsa Indonesia dan setelah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di tahun 1945, Madura juga tak terpisahkan dari NKRI tersebut.
- Etnik Madura di Indonesia dapat dibedakan dengan etnik lainnya. Hal ini disebabkan oleh, ciri khas Etnik Madura yang memiliki seperti bahasa, busana, atau lainnya baik yang berdomisili di Kepulauan Madura maupun di daerah lainnya di Jawa Timur seperti daerah pantai utara dan timur Jawa Timur, sering disebut “Pesisir dan Ujung Timur Jawa” (Kodiran dalam Koentjaraningrat, 1975 ).yang saat ini dikenal sebagai daerah tapal kuda.
Pada masa lalu, kaum kolonialis lewat tulisan tulisannya menganggap Madura sebagai daerah yang masyarakatnya tidak bisa bersahabat. Bahkan, menurut sarjana-sarjana Barat Madura tidak dibicarakan tersendiri tetapi selalu dikaitkan dengan Jawa. Oleh karena itu, hal yang berkaitan dengan Madura selalu terbaca “Jawa dan Madura”. Semua itu merupakan ciri kaum kolonialis rasa kebangsaan sulit untuk ditegakkan. Namun, akhirnya tahun 1945 muncul sebuah bangsa di nusantara, yakni bangsa Indonesia.
Peneliti Belanda dari Institute for Cultural and Social Anthropology University of Nijmegen, The Netherlands Huub de Jonge adalah orang yang mendalami tentang masyarakat dan budaya Madura. Bukunya berjudul Madura dalam Empat Zaman, Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam: Suatu Studi Antropologi Ekonomi. Buku ini adalah hasil disertasi de Jonge. Namun, pada penerbitan karya berikutnya, la terlalu asyik menulis pendapat orang-orang Belanda tentang Madura di abad 19 yang identik dengan pendapat kolonial, sehingga Madura seakan-akan stagnan tidak berkembang. Apabila peneliti Madura mengetahui bahwa hampir setiap batu bata yang dibangun di gedung gedung Kota Rotterdam maupun Amsterdam pasti ada batu bata dari hasil keringat orang Madura dan bila Van der Plass (Gubernur Jawa Timur di zaman Hindia Belanda) masih hidup, beliau pasti membenarkan apa yang penulis tulis ini,
Hal tersebut karena Van der Plass tahu bagaimana Madura digunduli untuk usaha orang Belanda dalam mencari peruntungan di Indonesia termasuk kaitannya dengan orang Madura yang mereka jadikan kuli-kuli di perkebunan mereka. Seperti onderneming teh, kopi, tembakau ataupun di tambang batubara dan minyak milik mereka tetap berlangsung sebab hanya orang Madura yang mereka pandang sebagai yang kuat dan pasrah hidup sebenggol sehari dan tipe Van der Plass merupakan politikus yang ‘jahat, khususnya dalam penggundulan hutan di Madura.
De Jonge mengungkit tentang kekerasan hati orang Madura yang menurutnya disebabkan oleh makanan orang Madura, yaitu ketela pohon dan jagung. Dalam hal ini De Jonge lupa bahwa Westerling yang makan gandum dan kentang lebih buas dari serigala dalam membantai bangsa Indonesia di Sulawesi pada zaman perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia (maaf hanya ungkapan seperti itu yang patut untuk Tuan Westerling).
Masih dalam tulisannya, ada anggapan bahwa nelayan Madura dituduh sebagai bajak laut. De Jonge tetap sibuk menulis tentang orang Madura, andaikan ‘bajak-bajak laut’ Madura itu masih hidup, tulisan De Jonge tak lebih hanya sampah. Mengapa? Karena nelayan Madura saat itu sengaja ditangkap dan dituduh sebagai bajak laut kemudian dipenjara. Merekadapat bebas kembali apabila bersedia menandatangani perjanjian sebagai kuli kontrak di perkebunan-perkebunan milik Belanda (Soenarto, 1960).
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa etnik Madura sama dengan etnik-etnik lain di dunia, pasti di antara mereka ada yang berperilaku buruk. Hal ini merupakan naluri manusia, bahwa dalam kehidupannya selalu diikuti nafsu yang berupa “nur” dan “nar”. Nur adalah penyinar kebaikan sedangkan “nar” atau api yang memiliki sifat membakar. Jadi, api di sini bukan sesuatu yang tidak baik, tetapi apabila api sudah membakar apapun yang tidak seharusnya dibakar, barulah api itu merupakan sesuatu yang jahat.
Seperti yang dimiliki van der Plaas dan Westerling, sesuatu yang dilupakan dalam dalam bukunya oleh de Jonge. Bahkan, ada anggapan bahwa suku Madura dan budayanya merupakan satu kelompok dengan suku/budaya Jawa. Namun, kenyataan bahwa berbagai kelengkapan sebagai suatu etnik menjadi sebaliknya. Misal, pada etnik Jawa tidak mempersoalkan tempat tinggal orang yang sudah menikah, tetapi tidak demikian dengan etnik Madura. Laki-laki Madura yang telah menikah harus. bertempat tinggal dengan kerabat istrinya. Hal ini dapat kita lihat pada tatanan pemukiman pada konsep tanèyan lanjhâng.
Di dalam pergaulan hidup maupun perhubungan sosial sehari-hari, etnik Madura selalu berbahasa Madura bukan berbahasa Jawa. Dalam penelitian dari lima bahasa yakni Madura, Lampung, Bali, Bugis, Kayan, dan Kisa, J. Crawfurd, mengambil masing-masing 1000 kata. Dari 1000 kata Madura terdapat 675 kata Melayu dan 325 kata berasal dari bahasa lain; 1000 kata Lampung terdapat 455 kata Melayu dan 545 kata dari bahasa lain; 1000 kata Bali terdapat 470 kata Melayu dan 530 kata dari bahasa lain, dari 1000 kata Bugis terdapat 326 kata Melayu dan 674 kata dari bahasa lain; dari 1000 kata Kayan terdapat 114 kata Melayu dan 886 kata dari bahasa lain; dan 1000 kata Kisa terdapat 56 kata Melayu dan 944 dari bahasa lain. Berdasarkan penelitian tersebut, kata yang sesuai dan cocok dengan bahasa Melayu kurang lebih 60% (Crawfurd dalam Slamet Mulyana, 1964:19). Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat kedekatan etnik madura dengan Melayu. Seperti pepatah dalam masyarakat Melayu yang mengatakan bahwa:
Bergantung kepada yang Satu.
Berpegang kepada yang Esa.
Tuah hidup sempurna hidup.
Hidup berakál mati beriman.
Pesantren-pesantren Madura juga mencipta siir-siir, yang berisi tentang keimanan kepada yang Esa.
kaulâ asi’ir mojhi dâ’ Alah
salawât salam dâ’ Rasulilla
odi’ bân patè takdirrâ Alah
ta’ kèra lopot ta’ kèra sala
terjemahannya:
‘saya bersyair memuji keagungan Allah’
‘shalawat dan salam hanya untuk Rasulillah’
‘hidup dan mati adalah takdir Allah semata’
‘yang demikian tak mungkin luput dan salah’