Pada tanggal 11 Nopember 1947, tentara Belanda mulai dengan serangannya melalui suatu serangan final (doorstoot) yang sifatnya besar-besaran ke arah Sumenep yang dilindungi dengan beberapa pesawat terbang dan udara.
Sebagai pangkal tolak, Belanda mengkonsolidasikan diri di desa Cen-Lecen dan rencana Belanda selanjutnya sebagai berikut:
- Jalan utara Madura Cen-Lecen, Pakong, Waru, Pesongsongan Ambunten, Sumenep.
- Jalan tengah, Bandungan, Cen-Lecen, Ganding, Sumenep dan Ganding, Luk-Guluk, Lenteng Sumenep.
Tentara Belanda yang melalui Ganding – Saronggi sementara mendapat hambatan karena adanya jembatan sungai Saroka telah dihancurkan di Nambakor, selain perlawanan Kompi Kapten R.P. Abdullah yang mempertahankan Saronggi. Serangan Belanda yang paling kuat melalui Ganding – Lenteng, karena disitu adalah poros serangan tentara Belanda yang utama.
Gerakan Pembumihangusan dari tentara kita tidak berhasil, karena terlambat, kekurangan waktu dan menjadi bingung, karena serangan pasukan tentara Belanda terlalu besar dan kuat.
Dalam hal itu Pusat Pertahanan tentara kita (Sektor III) yang ada di desa Kertagena (pertahanan terakhir) dihadapkan kepada keadaan yang kritis, karena tentara Belanda telah berhasil masuk kota Sumenep.
Pertahanan kita menjadi terisolir oleh kepungan tentara Belanda, sehingga Mayor Mangkudiningrat selaku Komandan Sektor III pada sekitar tanggal 13 Nopember 1947 merencanakan memindahkan pertahanannya dan Kertagena mundur ke daerah Sumenep agar dapat membantu Sektor IV Sumenep pimpinan Mayor Abdul Majid.
Penghentian Perlawanan Untuk Sementara
Mengingat jatuhnya Sumenep berarti seluruh Madura telah dikuasai oleh tentara Belanda, maka keluarlah perintah dari Komandan Resimen 35/COPP 6/35Madura yang antaranya sebagai berikut:
- Seluruh Slogarde yang masih bersenjata diperintahkan mundur ke Jawa, dengan tempat berkumpul di Kediri.
- Yang tidak bersenjata menggabungkan diri dengan rakyat, tetap dirumah, dan menjalankan gerakan bawah tanah, sambil menunggu waktu yang baik.
- Tetap dijalin hubungan dengan Kediri/Jawa.
- Sebagai anggota-anggota Tentara Nasional Indonesia tidak dibenarkan untuk
bekerja pada tentra Belanda, bagaimanapun besar risikonya. - Perwira dengan pangkat Kapten keatas diperintahkan hijrah ke Jawa secara kelompok atau pribadi-pribadi.
- Hanya anggota-anggota intelligence yang boleh menyusup ke Kesatuan-kesatuan Belanda.
Mengingat adanya perintah tersebut, maka pada tanggal 13 Nopember 1947, semua anggota pasukan di bawah pimpinan Sektor III diperintahkan kembali ke rumah masing-masing dengan suatu pengertian sebagai berikut:
Menyesuaikan diri sebagai rakyat biasa, karena meneruskan perjuangan dengan pertempuran secara terbuka sementara tidaklah mungkin lagi; Kepada para Komandan Pasukan (kecuali beberapa yang tidak memimpin anak buah/pasukan, diantaranya Mayor Hafiluddin, Mayor Sulaiman, dan Mayor Cokrodipuro) dianjurkan meneruskan perjuangan di Jawa, dan kesempatan tersebut diberikan kepada bawahan yang ingin ikut serta.
Adapun Pasukan yang masih utuh supaya segera berangkat dengan persenjataannya menuju pulau Jawa untuk melanjutkan perjuangan bersenjata di sana yang masih mungkin dilakukan.
Perlawanan Dihentikan di Gunung Tapoar
Komandan Sektor III Mayor Mangkudiningrat bersarna-sama dengan perwira yang diperbantukan kepadanya yaitu Kapten Muhammad Saleh masih tinggal di tempatnya semula untuk dapat mengamati dan mengetahui keadaan selanjutnya.
Komandan COPP sendiri pada waktu itu berada di Guluk-Guluk bersama dengan beberapa Perwira dan dua orang Sersan, sambil memonitor jalannya gerakan Belanda yang sudah masuk kota Sumenep, dan pelaksanaan hijrah ke Jawa oleh kelompok-kelompok.
Setiap hari tentara Belanda mengadakan gerakannya selalü untuk tujuan pembersihan di tempat-tempat yang dicurigainya, di samping terus berusaha dengan giat untuk mendirikan Pemerintahan Sipilnya.
Pada tanggal I Desember 1947, dipesankan oleh Mayor Mangkudiningrat kepada Kapten Mohammad Saleh agar berangkat pergi dari gunung Tapoar menuju Yogyakarta agar dapat melaporkan keadaan Madura yang sebenarnya. Keesokan harinya di waktu hujan, gunung Tapoar diserang oleh tentara Belanda dengan kekuatan dua Brigade, langsung mcngepung tempat Mayor Mangkudiningrat. Disanalah Mayor Mangkudiningrat ditangkap dan di bawa ke MVD (Militaire Veiligheids Dienst) di kota Sumenep.
Selanjutnya pada tanggal 5 Desember 1947 dibawa ke MVD Surabaya, ditawan di sana untuk kira-kira dua bulan lamanya sebelum masa tahannannya berakhir. Namun bagi Mayor Mangkudiningrat, dalam bentuk yang lain masa berjuang tetap berjalan karena “For a fighting nation there’s no journey’s end”.
Tulisan diangkat dari buku Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Madura, oleh Tim Penyusun Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Madura, 1991, Bab III, dengan sub judul : (1) Aksi Militer Belanda di Madura, (2)Pembentukan Komando Pusat Pertempuran Madura (3) Pasukan Belanda Menuju Bangkalan,(4) Gerakan Belanda dan Pendudukan Arosbaya,(5) Pengerahan Tenaga di Daerah Pendudukan Belanda, (6) Serangan Umum di Kota Pamekasan, (7) Penghianatan Dalam Pertempuran Klampar , (8) Serangan Balasan Terhadap Belanda di Desa Morsomber, (9) Pusat Pemerintahan Sipil Pindah Ke Sumenep, (10) Serangan Final Belanda Besar-Besaran Ke Sumenep