Semua itu membawa konsekuensi lain, yaitu keharusan memberikan penghormatan paling tinggi kepada sang kiai. Maka dalam acara salametan, misalnya, kiai mendapatkan tempat dan berbagai suguhan paling istimewa, melebihi tempat dan suguhan untuk undangan lain. Adalah wajar belaka kalau sosok yang secara sosial paling dihormati mendapatkan sesuatu yang paling istimewa dari anggota sosial itu sendiri. Masalahnya adalah, jika kiai adalah sosok paling dihormati, suguhan apa yang paling istimewa yang patut disuguhkan kepada seorang kiai dalam sebuah salameran? Dalam kasus salametan di atas, tuan rumah jelas memililci suguhan yang menurut ukurannya sendiri sudah tergolong istimewa, terutama diukur dari kemampuan finansial dan status sosialnya. Tetapi, mengukur keistimewaan suguhan dan ukuran sang man rumah sendiri bagaimanapun tidaklah memadai, belum cukup istimewa untuk disuguhkan kepada sosok yang paling istimewa. Dengan kata lain, betapapun istimewanya, suguhan milik tuan rumah tetaplah tidak cukup istimewa diukur dan status kiai sebagai sosok yang paling dihormati.
Dalam kosmoglogi Madura, kiai bukan hanya sosok yang otonom, yang berdiri sendiri, melainkan sosok yang memancarkan aura relijiusnya, wibawanya, ke seluruh hal yang berkaitan langsung dengannya, termasuk semua miliknya. Demikianlah maka kepada keluarga dekat kiai —istri, anak, cucu, dli.— akan diberikan penghormatan yang relatif sama dengan penghormatan yang dibenkan kepada kiai itu sendiri. Bahkan kepada binatang piaraannya dan pertanian garapannya. Orang Madura menghormati kucing piaraan kiai, sebab bagi mereka kucing itu bagian tak terpisahkan dan sosok sang kiai, seakan kucing itu mengandung emanasi relijiusnya. Demikian juga mereka menghormati kendaraan kiai sebab kendaraan itu tak terpisahkan darinya. Hubungan seorang santri dengan kendaraan kiainya adalah hubungan si santri dengan kiai itu sendiri. Maka, duduk di atas kendaraan kiai, misalnya, adalah perilaku sangat tidak sopan terhadap kiai, yang bukan tak mungkin akan membawa konsekuensi sangat jauh, yaitu terganggunya keteraturan tatanan kosmis masyakarat. Dengan demikian, segala milik kiai mendapatkan status nyaris setara dengan kiai itu sendiri.
Sejurus dengan posisi sosial kiai sebagai sosok yang paling tinggi, maka segala hal yang berkaitan langsung dengan kiai itu sendiri —termasuk hartanya— mendapat status paling tinggi pula. Di antara seluruh suguhan yang disediakan Wan rumah salametan tadi, tak ada suguhan yang mencapai derajat keistimewaan pisang milik kiai. Pisang milik kialah suguhan paling istimewa, yang patut dan hanya patut disuguhkan pada sosok yang paling istimewa itu. Dengan cara tersebut, si tuan rumah mengukur keistimewaan suguhannya tidak dan posisinya sendiri —yang bagaimanapun tak akan mencapai derajat keistimewaan sang kiai— melainkan dan posisi sang kiai dan status sosior elijiusnya.
Maka, kalau si tuan rumah mengambil pisang kiai tanpa sepengetahuannya, dia sesungguhnya secara sadar mengambil risiko tindakan tersebut demi memberikan penghormatan paling tinggi sekaligus memberikan suguhan paling istimewa pada sosok yang paling dihormatinya. ini memang paradoks. Sudahlah pasti seorang kiai tak menginginkan, apalagi mengajarkan santrinya untuk mengambil apa pun tanpa izin pemiliknya. Alih-alih, kiai pasti melarang keras hal itu. Tapi sang kiai kini tahu bahwa santrinya sendiri melanggar larangannya justru untuk menghormatinya. Secara emotif, paradoks ini mengaduk-aduk perasaan dan pikiran antara perilaku yang salah namun dengan mudah dapat dimaaflcan di satu sisi, dan perilaku yang tetap tak bisa diterima betapapun motifnya benar di sisi lain. Mengaduk-aduk perasaan dan pikiran antara keharusan menghukum sang tuan rumah di satu sisi, dan keharusan memakluminya di sisi lain. Tak pelak lagi, paradoks perilaku sosial ini mengandung masalah yang sangat kompleks dan dimensi-dimensi mental, emotif, psikologis, dan kosmologis masyarakat Madura.
Apa yang saya kemukakan di atas hanyalah contoh kasus betapa tak memadamya memahami fenomena sosial-budaya Madura hanya dan apa yang tampak di permukaannya saja. Menangkap fenomena sosial-budaya Madura dan permukaannya belaka bahkan bukan saja tidak memadai, melainkan bisa menyesatkan. Diperlukan usaha menyelam jauh ke dasar nomena berbagai fenomena sosial-budaya Madura, jika kita ingin memahaminya dengan baik. Atau paling tidak, fenomena sosial-budaya Madura perlu ditempatkan dalam konteks kebudayaan Madura itu sendiri.
saya butuh buku itu tolong gimana ya caranya karena ditoko buku tidak ada.. please kasi info
Coba kontak melalui akun FBnya : https://www.facebook.com/dardirizubairi
gan saya tertarik sama buku ini, kalau boleh tau buku ini bisa saya dapatkan dimana ya gan ?
Coba kontak melalui aku FBnya: https://www.facebook.com/dardirizubairi