Dari pernyataan itu, sekilas sikap dan perilaku orang Madura yang dimaknai sebagai keras menunjukkan relasi dengan nilai-nilai budaya Madura. Namun, apakah memang benar demikian?
Barangkali yang selalu muncul dari pikiran, sikap, dan tindakan orang Madura adalah ketegasan dan bukan kekerasan. Dua kata benda yang dikaitkan dengan sikap dan perilaku itu harus dibedakan secara konseptual maupun praksis.
Keras menujukkan sifat perilaku antonim dengan perilaku lembut sehingga segala sesuatu harus dihadapi dengan penuh emosi, mengabaikan akal budi dan etika sopan santun. Dalam konteks yang sama, tegas mengandung makna perilaku memegang prinsip yang diyakini sehingga tidak mudah goyah oleh kondisi dan situasi sekelilingnya.
Harus diakui, bahwa perangai, sikap dan perilaku orang Madura yang pada hakikatnya sangat tegas kemudian terimplementasikan dalam perangai, sikap dan perilaku spontan dan ekspresif itu terkadang muncul agak berlebihan sehingga makna ketegasan yang terkandung di dalamnya kemudian bergeser menjadi kekerasan.
Namun pergeseran ini tidak mungkin terjadi tanpa ada kondisi-kondisi yang membentuknya. Kondisi sosial budaya yang paling kuat adalah ketika orang Madura merasa dilecehkan reputasinya sehingga membuatnya merasa tada’ ajina (tidak berharga lagi), yaitu sebuah pengingkaran terhadap eksistensi diri sehingga tidak berguna dan bermanfaat baik secara sosial maupun budaya dan pada gilirannya menimbulkan perasaan malo (malu atau terhina).