Meskipun berada dalam kuasa subordinasi Jawa, kemaduraan bukanlah satu narasi sistemik yang harus terus menerus membisu dalam jalinan teks-teks dialogisnya. Dalam Persepsi Madura, Jawa memang terasa lebih unggul, superior dan mewakili sebuah teks mayor dalam lintas peradaban Nusantara. Istilah onggha (naik) yang disematkan bagi aktivitas pergi ke tanah Jawa, atau sebaliknya, toron (turun) bagi aktivitas transportasi dari Jawa ke Madura seakan-akan menempatkan Jawa sebagai mainland seperti posisi Amerika terhadap Alaska .
Oleh: Syarif Hidayat Santoso
Lambang Semiotika kultural ini sejujurnya telah menciptakan sebuah barikade persepsi mengenai keutamaan orang Madura yang mungkin tidak pernah tercatat secara permanen dalam kosmologi kemaduraan. Jawa yang mayor dipaksa hidup tanpa sadar dalam haluan berpikir masyarakat Madura. Unit kuasa wacana ini seakan mengabaikan fakta bahwa Madura sendiri memiliki persepsi sendiri tentang lingkup historis dan geografis kulturalnya.
Trunojoyo adalah satu-satunya figur non Jawa yang bisa memporak-porandakan hegemoni Sunan Amangkurat I. Jawa yang tidak pernah takluk, bahkan oleh Sriwijaya dan Sunda sekalipun, harus rela menyerahkan Plered, ibukota Mataram saat itu ketangan Madura. Peristiwa Medang Pralaya terulang kembali, kali ini bahkan lebih ironis, karena beratus tahun setelah itu, Jawa tak pernah melahirkan Airlangga kembali. Pemberontakan Trunojoyopun mewakili arus kegelisahan masyarakat Islam Jawa Timur akibat semakin merosotnya pengaruh Islam Giri Kedaton. Sikap diskriminatif terhadap ulama Giri yang digulirkan Mataram sejak Sultan Agung, ternyata mendapat perlawanan tidak saja dari otoritas kesantrian Giri Kedaton, namun masyarakat Madura yang priyayi seperti Trunojoyo.
________________________________________
Ilustrasi: Tradisi Cina dan Madura (lukisan: Ardiansyah)