Bahkan saat makan pun menurut Raden Ajeng Rabiatul ‘Adawiyah, cicit Gus Muharrar, sangat tidak lazim. Makanan seenak apapun oleh beliau selalu dicampur oleh daun paria yang rasanya sangat pahit. “Sehingga beliau makannya selalu sedikit. Jadi diberi yang pahit agar tidak banyak makan,” kata guru di SMP Negeri 1 Saronggi ini.
Setelah Gus Hasan wafat tahun 1933 Masehi dalam usia lanjut, pesantren diasuh oleh Raden Bagus ‘Abdul Lathif, putra keduanya. Karena putra sulungnya, Raden Bagus Muharrar terlebih dulu wafat. Gus Lathif juga terkenal sebagai tokoh yang ‘alim dan ‘arif. Beliau juga diberi keistimewaan pandangan kasyaf, sehingga tahu apa yang akan terjadi.
“Dulu, Gus Lathif pada suatu hari tiba-tiba keluar dari rumahnya ke para santrinya yang tengah berkumpul, lalu bilang, ‘sebentar lagi akan ada orang yang bersandar pada tiang ini, dia adalah waliyullah’,” cerita Raden ‘Alimuddin, salah satu santri senior di Loteng, menirukan kata-kata gus Lathif.
Tak berapa lama kemudian, tiba-tiba datanglah Raden Ario Atmowijoyo (Tearjha Atmo) dan duduk bersandar tepat pada tiang yang ditunjuk oleh Gus Lathif. Lalu Tearjha Atmo memanggil Gus Lathif dan memintanya agar tidak lagi membuka hijab dirinya. Gus Lathif lalu meminta maaf.
Setelah Gus Lathif meninggal, pesantren diasuh oleh adiknya atau putra Gus Hasan yang nomor empat, Sayyid Raden Bagus Ahmad Murtadla. Gus Murtadla terkenal sebagai sosok yang ‘alim, dan keras terhadap hukum agama. Konon, beliau bahkan pernah mengharamkan masuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP) karena partai tersebut menggunakan lambang ka’bah untuk dicoblos oleh pemilihnya. Sampai masa Gus Murtadla, sistem pendidikan salaf tetap berjalan di Loteng. Beliau juga melarang santrinya bersekolah umum (formal). Sehingga yang ingin sekolah umum sambil mondok di Loteng tidak diperkenankan.