Baru setelah Gus Murtadla wafat tahun 1983, dan pesantren diasuh oleh Sayyid Raden Bagus ‘Abdullah bin ‘Abdul Lathif, pesantren agak terbuka pada pendidikan formal. Perlu diketahui, di masa mulai Gus Lathif, Gus Murtadla hingga Gus Abdullah, pesantren Loteng berkembang sangat pesat.
Santri-santri mukimin dari berbagai penjuru di Sumenep berdatangan. Kebanyakan santri Loteng berasal dari daerah kecamatan Dungkek, terutama Lapa, kecamatan Dasuk, desa Bellu’ Slopeng, kecamatam Rubaru, kecamatan Lenteng, desa Kasengan Manding, pulau Gili Genting, dan pulau lainnya. Sedangkan yang tidak mukim, banyak dari kota Sumenep yang mengikuti pengajian di Loteng secara mustami’an. Kalau yang mustami’an ini kadang banyak yang dari kalangan kiyai-kiyai sepuh, keluarga masyaikh ‘Arab, habaib dan lain-lain
Gus ‘Abdullah terkenal sebagai pribadi yang ‘alim dan terbuka pada semua kalangan. Meski beliau sendiri tidak bisa baca tulis huruf latin, namun kapasitas keilmuannya di bidang agama sangat diakui tokoh-tokoh ulama di Sumenep di masanya. Bahkan beliau pernah mendapat penghargaan dari wakil Presiden Try Sutrisno sebagai salah satu orang yang berperan besar dalam dunia keagamaan di Sumenep kendati buta huruf latin.
Di masanya santri-santri Loteng juga diperbolehkan sambil sekolah pendidikan formal di luar pesantren. Bahkan pesantren sendiri mulai membuka sekolah diniah dan sekolah menengah pertama Islam (SMPI) yang diberi nama SMPI al-Ahsan / al-Hasan. Salah satu santri Gus Abdullah yang terkenal ialah almarhum Kiyai Thayyib dari desa Matanair kecamatan Rubaru. Salah seorang kiyai masa kini yang diyakini berpangkat wali.