Budayawan Madura, Edy Setiawan menyatakan, salah besar jika keterbelakangan hanya diidentikkan dengan logat seperti terjadi pada Mahfud. “Inilah susahnya orang Madura yang sudah kadung menjadi karikatur keterbelakangan. Apa pun yang diraih mereka, tetap saja dipandang terbelakang,” ujarnya.
Dalam pandangan Latief, masyarakat luar tetap melihat Madura seperti terbelakang, suka kekerasan, dan hanya taat kepada ulama. Pandangan itu tidak salah, namun tidak seluruhnya benar. Ada bagian atau penggalan sejarah masa lalu Madura yang dilupakan orang. “Jasa besar orang Madura dalam mendirikan Kerajaan Majapahit, sama sekali tidak pernah disinggung. Mereka hanya mengingat stereotip Madura yang cenderung naif itu,” ujarnya.
Dalam mengarungi hidup orang Madura menganut prinsip asal halal, sehingga mereka “bebas” bekerja di sektor apa pun. Mereka tidak melihat prestise dari pekerjaan yang digelutinya. Prinsip hidup kar karkar colpek (seperti ayam mengais-ngais dulu, baru mematuk) mengajarkan mereka untuk bekerja lebih dahulu baru menikmati hasilnya.
Sayangnya, kadang pekerjaan yang digeluti masyarakat Madura membuat mereka seperti “terasing” dari kehidupan masyarakat lain. Apalagi, jika mereka berada di luar pulau, cenderung mengelompok membuat komunitas tersendiri. Akibatnya, mereka hanya bergaul dengan sesama orang Madura. Lalu muncullah anggapan bahwa warga Madura terbelakang dan tidak mau menerima pembaruan.
Apalagi, hasil kerja mereka di perantauan tidak hanya dihabiskan untuk makan melainkan dikirim ke daerah asal. Mereka paham betul bahwa saudara di desa sangat membutuhkan bantuan. Slogan rampak naong baringin korong (yang kuat harus melindungi yang lemah) atau on sogi pa sogak (kalau kaya harus dermawan), menjadi pegangan utama mengapa mereka harus mengirimkan hasil kerjanya ke Madura.
“Setelah bekerja, membangun rumah atau berhaji menjadi pilihan utama orang Madura. Kalau rumah sudah bagus atau usai melakukan haji, baru mereka memikirkan emas atau sapi sebagai cara menabung. Alasannya, kedua benda itu mudah dijual bila sewaktu-waktu diperlukan,” ujar D Zawawi Imron, budayawan asal Desa Batang-Batang, Kecamatan Batang-Batang, Kabupaten Sumenep.
Keuletan dan kejelian masyarakat Madura itu, kalau boleh dibilang seperti itu, tidak muncul seketika. Di tanah tumpah darahnya, Pulau Madura, mereka hanya dihadapkan pada tanah gersang dan sulitnya sumber air. Dari luas pulau 5.254,76 kilometer persegi, sawah yang berpengairan hanya 285,26 kilometer persegi, sedang sawah tadah hujan 596,45 kilometer persegi dan tegalannya 2.970,79 kilometer persegi (tahun 1989/ 1990).MENILIK sejarah, menurut Edy, citra keras dan kasar warga Madura tidak bisa dilepaskan dari pemberontakan Trunojoyo. Dalam perjalanan menuju ibu kota Kerajaan Mataram di Solo, pada abad ke-17, pasukan Trunojoyo melukai bahkan membunuh pasukan kerajaan bawahan Mataram, seperti Gresik, Sedayu, Tuban sampai ke Solo.