Sulitnya Mengubah Citra Madura

“Ini fakta yang tidak bisa kita tutup-tutupi. Kesan keras dan kasar itu, khususnya bagi orang Jawa, sampai sekarang terus melekat. Di samping warga Madura yang migrasi ke luar, karena tidak dibekali pendidikan yang cukup, memang banyak menggeluti pekerjaan yang lebih mengandalkan otot,” ujarnya.

Dari perspektif psikologi, tambah Edy, Pulau Madura hampir selalu menjadi daerah jajahan Jawa sejak zaman Kerajaan Singosari. “Sehingga, sangat mungkin jika orang Madura menganggap diri lebih rendah dibanding Jawa. Mungkin ini pula yang menyebabkan, jika orang Madura pergi ke Jawa bilangnya ongga (naik), dan kalau pulang ke Madura dibilang toron (turun),” ujar Edy.

Bahkan, sering kali terdengar masyarakat kebanyakan menyebut oreng kenek bila berhadapan dengan sang juragan, orang kota atau orang kaya lainnya. Suasana kejiwaan itu yang membuat warga Madura kebanyakan seperti terus terjajah. “Kalau kemudian mereka keras dalam menjalani hidup, saya bisa mengerti,” ujar Edy.

Namun, sikap keras saja bagi orang Madura tidaklah cukup tanpa dibarengi ilmu yang memadai, sesuai prinsip mon keras a keres (kalau mau hidup keras harus punya keris). Akibatnya, kesan keras dan kasar, memang tidak dapat dihindari karena orang luar bisa melihat carok atau kerapan sapi, tetap hidup di Madura. Apalagi, di Madura ada tradisi remo yang merupakan ajang berkumpulnya para jagoan dari seluruh wilayah Sampang atau Bangkalan.

Sebagai tradisi, remo sudah menjadi institusi sosial dan budaya yang bisa mendatangkan keuntungan ekonomi bagi pesertanya. Setiap pelaksanaan remo, sedikitnya bisa terkumpul uang Rp 5 juta sampai Rp 10 juta, atau bahkan bisa mencapai  Rp 100 juta.

Menurut Elly Touwens Bousma, antropolog Vrije Universitiet Amsterdam Belanda, yang membuat orang tertarik untuk menjadi anggota remo, karena mereka dapat mengadakan hubungan utang-piutang dengan jauh lebih banyak orang. “Tetapi, tak jarang orang yang tak lagi mampu bekerja terjerat utang sampai mati,” tulis Bousma yang pernah tinggal selama delapan bulan di Madura pada tahun 1978.

Tidak sekadar manfaat ekonomi, tetapi remo menjadi ajang yang prestisius karena predikat ketokohan seseorang di Bangkalan dan Sampang, masih terasa belum lengkap jika sang tokoh belum menjadi anggota remo.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.