“Itu bisa berupa sumbangan (mowang) kepada tuan rumah atau memberi tip kepada penari yang cukup besar, atau berapa banyak dia minum minuman keras yang disediakan tuan rumah. Makin besar sumbangan, makin besar tip yang diberikan, dan makin banyak minuman yang ditenggak, ketokohan orang itu makin menjulang,” tambah Latief, yang telah meneliti remo tahun 1996.
Bousma mencatat, remo merupakan salah satu sumber terjadinya carok atau tindak kekerasan, di samping persoalan wanita. Sebab, sumbangan (mowang) yang diberikan seseorang pasti akan terus ditagih meski orang itu telah menyatakan diri berhenti dari keanggotaan remo.
Mengapa citra masyarakat Madura masih tetap negatif, menurut Latief, itu tidak bisa dilepaskan dari peranan kelas menengah Madura yang kadang malu mengakui identitas etnisnya. “Warga kelas bawah yang menekuni pekerjaan kasar dan keras di luar Madura, tidak bisa kita persalahkan. Mereka memang masyarakat yang kurang pendidikan,” ujarnya.Dalam setiap masyarakat yang kurang pendidikan, kata Latief, dalam pergaulan sehari-hari sering memakai bahasa mapas (bahasa yang kasar pula). “Ironisnya, kata-kata kasar itu terimplementasikan dalam tindakan nyata. Semua itu sudah menjadi budaya mereka, sehingga terlalu sulit untuk mengubah dalam waktu dekat,” ujar kandidat doktor Universitas Gadjah Mada ini.