Namun sebaliknya, kata Latief, orang Madura yang sukses di luar merasa sudah bukan bagian dari orang Madura kebanyakan. “Inilah yang ikut melestarikan citra Madura yang keras dan kasar tadi. Padahal, dengan menjadi bagian warga Madura yang kebanyakan, kelompok kelas menengah ke atas, bisa segera mencairkan citra yang kental itu,” ujarnya.
Bahwa dalam budaya Madura juga dikenal sikap andap asor (ramah tamah), kata Latief, hanya bisa tercermin dari kelas menengah itu. “Tetapi, kalau mereka sendiri tidak mau mengakui identitas etnisnya, ya sulit orang luar melihat bahwa andap asor itu memang budaya asli Madura,” ujarnya.
Banyak orang mungkin kurang yakin jika Jenderal Hartono atau Rachmat Saleh atau Wardiman Djojonegoro, atau guru besar IPB Prof Dr Mien Rifai, berasal dari Madura. Dalam kehidupan kesehariannya, mereka bisa tampil dengan sikap andap asor. “Kalau mereka tidak mengaku identitas etnisnya, ya, sulit memang membedakan mereka dengan orang Jawa kebanyakan,” tambah Latief.
Edy Setiawan menambahkan, citra Madura yang keras dan kasar akan sulit terhapus manakala orang luar hanya melihat warga Madura di perantauan. “Peneliti Barat kadang takut masuk ke Madura karena gambaran seperti itu. Tetapi, seperti Helena Bouvier dari Perancis, hampir dua tahun tinggal di Desa Juruan (desa yang terkenal dengan carok-Red),” ujarnya.
Menurut Edy, kesan dan citra Madura yang keras dan kasar, tidak seluruhnya benar meski memang ada tradisi yang mendukung lestarinya kekerasan itu. “Lihatlah Madura dengan adil. Jangan hanya karena menolak pembangunan jembatan, misalnya, Madura lalu diidentikkan dengan keterbelakangan. Mereka punya alasan yang rasional,” ujar Edy, yang warga keturunan ketujuh dari nenek moyang Tionghoa itu. *
KOMPAS, Jumat, 17 November 2000,