Namun, Sultan Abdurrahman tak melakukan itu. Sejarah tak pernah bercerita bahwa gelar sultan yang melekat pada diri Abdurrahman merupakan gelar resmi yang diberikan Syarif Husein serta dilegalisasi Turki Usmani. Sejarah bahkan menegaskan bahwa gelar sultan itu diberikan oleh gubernur Jenderal Van Der Capellen atas jasa Sultan Abdurrahman dalam Perang Diponegoro sebagai partner militer Belanda. Hal yang lagi-lagi ironis, karena pangeran Diponegoro sebagaimana disebutkan Peter Carey dalam The Power Of Prophecy (2008) adalah pangeran Jawa keturunan tokoh Madura, Cakraningrat kedua.
Dalam kacamata Jawa boleh jadi Sultan Abdurrahman dianggap tidak nasionalis. Tapi, seumpama Menakjinggo-Damar Wulan, Sultan Abdurrahman boleh jadi tokoh hipokrit dalam kacamata Jawa namun tidak menurut perspektif Sumenep. Apa yang dilakukan sultan Abdurrahman pada dasarnya sebuah strategi politik jangka panjang untuk memberikan ruang segar bagi masyarakat Sumenep agar bisa berdiri tegak otonom di hadapan eks kekuatan Mataram maupun Belanda sendiri. Baik Belanda maupun dinasti Mataram pada dasarnya adalah dua entitas yang secara politis ekonomis merugikan Sumenep. Sumenep harus menyerahkan upeti berkala terhadap Mataram sebagai otoritas kekuasaan tertinggi sebagaimana hal itu dilakukan juga terhadap Belanda. Dengan mengangkat dirinya sebagai sultan, otoritas politik Sumenep ingin menegaskan bahwa Sumenep bukan vasal Jawa. ‘Politik main mata’ dengan Belanda inipun ternyata juga membuahkan hasil yaitu terkuranginya porsi kolonialisasi Belanda di Sumenep. Kesultanan Sumenep ingin membebaskan dirinya secara eksplisit dari dominasi pribumi dan secara implisit dari kolonialisasi asing.