Politik ekonomi yang mandiri terhadap dominasi asing yang didukung pribumi inilah yang seharusnya menjadi spirit pemerintahan baru Sumenep terutama ketika Madura menjejak industrialisasi. Bukan tidak mungkin tantangan serupa yang dihadapi sultan Abdurrahman akan melanda Sumenep dalam wajah lain. Sumenep dan Madura pada dasarnya segera akan dihadapkan oleh exposure (keterbukaan) terhadap intervensi ekonomi pribumi luar Madura dan juga modal kapitalisme asing yang berkoalisi satu sama lain.
Selama ini, ekonomi nasional mengidap penyakit kronis yang disebut Dutch Disease (penyakit Belanda), yaitu paradoksnya penghasilan sumber daya alam dengan realitas social welfare yang didapat atau menurut Lin Che Wei (2001) sebagai “kemiskinan di tengah kekayaan”. Intervensi dan dominasi ekonomi yang tak ramah terhadap rakyat merupakan “selingkuh legal” antara penguasa pribumi dan asing. Pembangunan ekonomi di Sumenep dan juga daerah-daerah lain di Indonesia pada dasarnya dihadapkan pada kebijakan Jakarta sebagai sentral kebijakan ekonomi nasional dan koalisinya dengan korporasi atau perusahaan asing. Dua kekuatan ini, yaitu otoritas politik ekonomi nasional dan perusahaan asing mirip dengan hegemoni Mataram dan Belanda pada masa lalu. Meski Sumenep kaya dengan lumbung migas, tapi tetesan migas tersebut tak pernah benar-benar membasahi kerongkongan rakyat akibat koalisi kebijakan ekonomi nasional dengan korporasi asing. Judul asli : Merindukan Sultan Abdurrahman di Sumenep, Pernah dimuat di Duta Masyarakat 1 November 2010)
Syarif Hidayat Santoso adalah Alumnus Hubungan Internasional FISIP UNEJ. Warga NU Sumenep