Raden Ayu Tirtonegoro merupakan satu-satunya penguasa perempuan dalam sejarah pemerintahan di Sumenep sebagai Adipati yang ke 30. Beliau adalah janda Tumenggung Tirtonegoro selaku pejabat tinggi Kadipaten pada jaman pemerintahan Raden Alsa Pangeran Cakranegara IV yang juga dikenal dengan sebutan Pangeran Lobs. Pada tahun 1749 Sumenep diserang oleh pasukan Ke Lesap, dan Tumenggung Tirtonegoro ditugaskan sebagai panglima perang dalam pertempuran untuk menghadapinya.
Ternyata Tirtonegoro gugur dalam pertempuran karena kena senjata calok kodik milik Ke Lesap. Pangeran Cakranegara IV mendengar bahwa Tirtonegoro gugur dan pasukannya kalah, maka melarikan din keluar Sumenep bersama keluarganya. Dan Sumenep diduduki oleh Ke Lesap selama beberapa han, menyusun kekuatan untuk melanjutkan pertempuran melawan Pangeran Cakraningrat V di Bangkalan. Dengan adanya Pangeran Cakranegara IV melarikan din maka oleh orang Sumenep dijuluki Pangeran Lolos.
Setelah Sumenep ditinggalkan oleh Cakranegara dan juga ditinggalkan oleh Ke Lesap, maka Sumenep dalam keadaan vacum, dengan demikian pihak keluarga keraton mempercayakan kepada Raden Ayu Rasmana janda Tirtonegoro untuk memerintah Sumenep.
Raden ayu Rasmana selain memang punya kecakapan dalam pemerintahan, juga selaku bibi dan Pangeran Cakranegara IV, yakni putra Raden Ayu Ratnadi kakak dan Raden Ayu Rasmana. Dan lagi beliau adalah keturunan (cicit) dan Tumenggung Yudonegoro, dan adik dan Raden Ahmad Pangeran Jimat. Kemudian Raden Ayu Rasmana bergelar Ratu Tirtonegoro, dan beliau mempercayakan kedudukan Patih kepada ipar sepupunya yang bernama Purwonegoro.
Ternyata Patih Purwonegoro merasa jatuh hati kepada Sang Ratu, disamping juga berambisi menjadi penguasa di Sumenep, tentunya Sang Ratu menolak atas kemauan Patihnya, karena masih bersatatus suami dan saudara sepupunya. Karena betapa adanya desakan Patih Purwonegoro kepada Sang Ratu, maka beliau melakukan tirakat untuk mendapatkan jalan keluar dari masalah tersebut.
Ternyata mendapat petunjuk bahwa dirinya akan bertemu jodoh dengan seorang laki-laki dari penyabit rumput, dengan ciri khas yang tertentu. Selanjutnya Ratu Trtinegoro mengutus punggawa keraton untuk mencari dan mengumpulkan para pencari rumput yang berusia tengah baya. Maka semua penyabit rumput yang berkeliaran di pasar dekat keraton dikumpulkan di pendopo keraton, tanpa diberitahu meksud serta tujuannya.
Setelah semua penyabit rumput cerkumpul di pendopo agung, maka Sang Ratu datang serta duduk di dampar istana, serta melihat diantara para penyabit rumput tersbut. Ternyata semua para penyabit rumput disuruh pulang kecuali Bindara Saod.
Sedangkan Bindara Saod adalah putra Ke Abdullah Batuampar, putra Ke Abdul Kidam Larangan, putra Ke Abdullah Modin Teja, putra Ke Abd. Rahem Sindir, putra Ke Kumba kara Sindir, putra Ke Rawan Sindir, putra Ke Andasmana Sindir putra Pangeran Notoprojo atau Pangeran Bukabu. Jadi Bindara Saod adalah keturunan ke delapan dari Pangeran Bukabu atau keturunan ke sembilan dari Panembahan Mandoroko.
(Disalin dari buku “ASTA TINGGI, Situs dan Sejarah Tokohnya”, penyusun: Tadjul Arifin R, Disbudparpora Sumenep (2013)