Para penulis Babad atau sejarah Madura sering mengacu pada masa tsb sebagai periode Kepanembahan. Para penguasa Sumenep waktu itu oleh Belanda memang tidak dianggap sebagai vassal atau penguasa bawahan biasa. Mereka adalah Panembahan atau Bupati yang dipertuan (vorsytelijke regent) dan diperlakukan sebagai sekutu merdeka (onafhankelijke bondgenoten) yang tak tergantung kepada pemerintah Belanda. Tapi hal tersebut hanya merupakan siasat Belanda saja, karena pada realitanya para penguasa Sumenep tidak diperbolehkan berhubungan dengan pemerintah luar negeri. Mereka harus tunduk kepada keputusan Belanda, kesemuanya diaturnya termasuk dalam masalah sengketa (soal hak) keluarga para bangsawan.
Dan penguasa kala itu hanya punya hak Kehakiman terbatas, kedaulatan sepenuhnya masih terletak di tangan Belanda, bahkan dalam hal pengangkatan seorang Patihpun (rijsbestuurder) dilakukan atas kemauan Belanda. Mereka juga mempunyai wewenang untuk menaikkan (menganugerahkan) pangkat Panembahan menjadi Sultan, namun dalam mengatur roda pemerintahan harus sesuai dengan yang telah di gariskan oleh penjajah.
Bagi penguasa diberi lambang yang sangat dibanggakan, padahal lambang yang di berikannya merupakan suatu pelecehan terhadap Aqidah Islam. Seperti simbol hewan berupa singa, kuda laut lambang kerajaan Belanda diatasnya terpampang mahkota yang bersalib.
Penganugerahan gelar Panembahan atau Sultan serta perangkat keagungan dengan tujuan untuk memudahkan mengambil manfaat sumber daya tenaga manusia untuk dijadikan pasukan perang dalam membantu Belanda. Juga karena kecakapan para Senopati perangnya dalam membantu penjajah untuk menumpas pemberontak yang notabene adalah bangsanya sendiri, maka ditaburkanlah bintang-bintang jasa Kerajaan Belanda.
Bagi pemimpin yang mengerahkan rakyatnya secara paksa untuk dijadikan laskar perang maka diberi pangkat Perwira tinggi titular. Karena Belanda telah melihat kepada system pengerahan laskar yang cukup bagus, maka pada tahun 1831 di bentuklah Korps Barisan yang terdiri dari rakyat pribumi untuk berperang demi kebutuhan penjajah. Mereka kemudian di kerahkan untuk memerangi bangsanya sendiri di Jambi tahun 1833, Minangkabau 1836, Bali 1844 Aceh 1873 dan lain sebagainya.
Mungkin banyak orang berfikir bahwa dengan adanya system yang dilakukan oleh para penguasa pribumi kala itu, dianggap sebagai “menjilat” kepada penjajah Belanda. Anggapan tersebut sangatlah keliru, karena situasinya memang sudah tidak memungkinkan. Apalagi hanya Sumenep, sekalipun Mataram yang merupakan suatu kerajaan besar dan punya pasukan perang puluhan ribu, tidak mampu menghadapi tentara Belanda. Selain mengandalkan pasukan serta persenjataan yang lebih lengkap, Belanda juga memakai politik divide et empara, sehingga Mataram bisa dipecah menjadi tiga kerajaan kecil.
Politik adu domba bukan hanya antara penguasa dengan penguasa, namun penguasa dengan rakyatpun juga diadu domba. Dengan cara menekan penguasa untuk menarik pajak yang tinggi, bahkan kadang kala masih ada pungutan yang di luar ketentuan. Tentunya rakyat akan berfikir bahwa Rajanya sendiri yang kejam, padahal memang dibuat demikian oleh pihak penjahah. Tapi bila ada penguasa yang menentang, berarti mengibarkan bendera perang kepada Belanda, bila terjadi perang maka rakyat yang menjadi korban. Jadi situasi yang demikian memang dilematis bagi penguasa pribumi yang berada dibawah jajahan bangsa Eropa.
Hanya yang dapat dilakukan oleh para Sultan Sumenep kala itu yakni “politik ajala sotra” (menjerat secara halus), atau menyindir tingkah Belanda secara samar. Seperti halnya dengan memakai ikat kepala yang dinakaman “odheng ghantong re’-kere’” yang maksudnya kita menggantung (tidak perlu mengindahkan) anak anjing. Anak anjing kulitnya putih kemerah-merahan, seperti kulit orang-orang Belanda.
Pada dasarnya para penguasa di Indonesia kala itu dapat dikatakan gagal meminpin sebuah wilayah kekuasaannya, karena dengan segala kelicikan bangsa Belanda, berupaya untuk memeras kekayaan Indonesia dengan cara memperalatnya. Disadari atau tidak, mereka sudah terlena dengan berbagai sanjungan serta penghargaan semu, bahkan terhanyut untuk melakukan yang sepantasnya tidak mereka lakukan. Selayaknya para pemilik kebijakan melayani masyarakat yang dilindungi, tapi karena muslihat, bujuk rayu serta tekanan pihak penjajah, maka yang terjadi adalah sebaliknya. sehingga terjadilah perilaku feodal.
Tiga ratus lima puluh tahun lamanya bangsa ini dijajah, ditindas, diperkosa hak-haknya, bahkan dianggap sebagai bangsa budak oleh bangsa Eropa. Hak-hak kemerdekaan bangsa kita dirampas, demi kepuasan serta kesenangan para penjajah. Dilanjutkan oleh perlakukan yang lebih kejam dari bangsa Jepang selama tiga setengah tahun, bukan hanya dianggap budak bahkan sudah dianggap sebagai binatang.
Dengan adanya kumandang Proklamasi Kemerdekaan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, merupakan semangat baru untuk lebih terbebas dari segala penderitaan. Pantas kiranya segenap elemen bangsa bersatu-padu, bahu-membahu, menyingsingkan lengan baju untuk mengusir kaum penjajah, sekalipun hanya dengan kekuatan seadanya. Bukan hanya waktu, tenaga, harta, nyawapun mereka pertaruhkan demi kemerdekaan bangsa Indonesia yang hakiki.
(Tadjul Arifien R)