Para pemuda Seinindan, Keibodan serta sisa-sisa Korps Barisan Madura, para mantan tentara PETA dan Heiho lalu membentuk Badan Keamanan Rakyat. Selain itu pula bermunculan satuan-satuan perjuangan rakyat seperti Hisbullah, Sabilillah, Pemuda Republik Indonesia dan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Karena jumlah pelajar sekolah lanjutan sedikit, maka Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) tidak pernah berkiprah di Madura. Beberapa pelaut Madura serta para pelajar sekolah pelayaran di Sumenep bergabung dengan Tentara Angkatan Laut yang dibentuk di Ujung Surabaya yang kemudian menjelma menjadi BKR-Laut. Satuan-satuan perjuangan ini segera mencoba mempersenjatai diri dengan merebutnya dari tangan tentara dan polisi rahasia Jepang.
Untuk memperlancar roda kehidupan dan pemerintahan maka aparat pemerintahan peninggalan Belanda tetap dipertahankan Jepang agar terus berfungsi. Wakil Syuchokan Cakraningrat diangkat sebagai Residen Madura, tetapi kursi Asisten Residen yang dulu diduduki orang Belanda atau Jepang dikosongkan. Dengan demikian Bupati Bangkalan, Pamekasan (meliputi Sampang), Sumenep menjadi Pengelola tunggal wilayahnya tanpa ada pengawas atau saudara tua penjajahnya lagi. Para Bupati tadi dibantu oleh Patih, Wedana dan Asisten Wedana serta Kepala Desa untuk mengatur pelbagai peringkat pemerintahan wilayah.
Dalam keadaan serba revolusi itu banyak hal yang harus segera dilaksanakan. Setelah pemindahan kekuasaan terlaksana dalam tempo yang singkat, bekas tentara dan aparat pemerintahan Jepang segera diamankan. Untuk melindungi dan menjamin keselamatan jiwa mereka dari amukan rakyat Madura, tawanan perang itu untuk sementara diinapkan dalam rumah penjara. Sesuai keputusan pihak Sekutu maka tentara Inggris dan Australia akan menangani penyerahan dan melucuti persenjataan tentara Jepang.
Ternyata ketegangan muncul lagi ketika tentara Dai Nippon menyerah tanpa syarat kepada tentara Sekutu. Tentara Sekutu datang ke Indonesia dengan diboncengi tentara NICA (Belanda). Keikutsertaan Belanda mempunyai maksud akan mempertahankan status quo seperti keadaan sebelum perang. Memang sudah nasib, belum sempat bangsa Indonesia menyembuhkan luka hatinya, datang lagi Belanda untuk kedua kalinya. Belanda langsung mengambil alih negara mantan jajahannya dari tangan Jepang. Hingga akhirnya rakyat Indonesia mulai sadar bahwa para kaum penjajah sudah tidak layak untuk bertingkah lebih jauh di dalam negeri yang memang sudah menjadi haknya. Mereka berfikir semakin jernih bahwa kalau hal itu dibiarkan maka kehidupan bangsa ini akan semakin terpuruk.
Oleh karena itulah maka muncullah keberanian mereka untuk menolak pihak Belanda yang akan menginjakkan kaki untuk kedua kalinya. Kobaran semangat kemerdekaan semakin membara, dan mereka seakan tidak pernah mengenal rasa takut terhadap semua ancaman yang selalu menghadang di hadapannya. Yang pada akhirnya tetesan darah setiap saat selalu membasahi bumi persada untuk mempertahankan tanah air tercinta ini.
Rakyat di seluruh pelosok Nusantara tergerak untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Manado, Makassar, Bali, Jakarta, Surabaya, Semarang dan termasuk Madura semuanya dengan serentak bergerak. Tujuannya hanyalah satu yaitu melepaskan Indonesia dari cengkeraman penjajah, semua melangkah dengan satu arah, yakni “Merdeka”.Tentara Belanda mulai menyisir setiap jengkal tanah untuk dikuasainya lagi. Para rakyat yang berupaya mempertahankan haknya dianggap sebagai pelaku tindak kriminal. Semua wilayah yang sekiranya dianggap berbahaya dibombardir tanpa ampun sekalipun di sana ada wanita, anak-anak, orang tua jompo dan orang sakit.