Rakyat Sumenep berupaya mempertahankan setiap jengkal tanah, sekalipun dengan persenjataan yang sangat terbatas. Tapi semangat juang tetap berkobar dan tak bisa dipatahkan. Tak ada rotan akarpun jadi, tak ada senapan bambu runcingpun jadi. Para pejuang dari BKR/TKR/TRI, Mobile Brigade, Biro Perjuangan, Pesindo, BPRI, Barisan Hisbullah dan Barisan Sabilillah semua bersatu padu dalam perjuangan. “Bango’ potèya tolang ètèmbang potè mata” (lebih baik putih tulang atau mati dari pada putih mata atau menanggung malu ).
Rakyat Sumenep dengan gagah beraninya mengangkat senjata sekalipun hanya bertahan. Mereka sadar bahwa perlawanannya belum pasti akan berhasil, tapi setidaknya ini membuktikan bahwa di Sumenep telah timbul perlawanan terhadap penjajah. Dengan adanya korban pertempuran melawan penjajah Belanda cukup menjadi catatan sejarah bahwa Sumenep juga mempunyai pahlawan pejuang kemerdekaan.
Hanya karena kekuatan persenjataan yang tidak seimbang maka pada tanggal 11 Nopember 1947 Sumenep jatuh ke tangan Belanda. Dengan dikuasainya Sumenep maka dibentuklah Negara Madura, sebagai negara boneka pihak Recoomba Belanda. RAA. Cakraningrat yang sebelumnya sebagai Residen diangkat sebagai Wali Negara dan diberi anugerah Pangeran.
Dewan Perwakilan Rakyat Madura (DPRM) dibentuk dengan sistem pemungutan suara (yang hanya merupakan tipuan atau pura-pura). 40 orang terpilih dalam pemungutan suara itu, akan tetapi 20 orang ditangkap dan dipenjarakan hanya karena bersuara obyektif. Pada bulan September 1948, Peraturan Negara Madura di syahkan oleh Recoomba Belanda sehingga DPRM yang tersisa mulai berfungsi sebagaimana Parlemen.
Pemerintahan Eksekutif dibentuk sekalipun keuangan masih dipegang oleh orang Belanda. Bidang keamanan dalam negeri dibentuk Velligheids Batalyon (VB), Mayor Ismail mantan Barisan Belanda ditunjuk sebagai Komandan. Berdirinya Pemerintah Madura dimotori oleh Partai Kebangsaan Madura dipimpin oleh R. Asmoroyudo, seorang “penyeberang” yang awalnya sebagai pejuang (ex Komandan Resimen 36 Mayangkoro dengan pangkat Letnan Kolonel). Dan Partai Kebangsaan Madura telah dibentuk jauh sebelumnya oleh Ch. O. Van der Plas di Surabaya.
Para pejuang kemerdekaan dan pemuda Madura menuntut pembubaran Negara Madura. Wali Negara Madura yang diangkat Belanda itu mencoba mengelak dengan menyarankan agar pembubaran negara bagian dilakukan berdasarkan konstitusi Republik Indonesia Serikat. Rakyat sudah tidak sabar menghadapi kelambanan tindakan birokrasi dan legislatif, mereka sudah tidak percaya lagi pada pemimpin yang jelas kurang berjiwa nasional.
Timbul demonstrasi-demonstrasi pada pertengahan bulan Pebruari 1950 yang menyebabkan Parlemen Madura menyatakan dirinya demissioner dan Negara Madura bubar. Rakyat lalu mendesak Raden Aryo Adipati Pangeran Cakraningrat menyerahkan mandatnya serta mengangkat Bupati Pamekasan Raden Tumenggung Aria Nataadikusuma sebagai Penjabat Residen Republik Indonesia untuk Madura.
Untuk menghindari perkembangan yang dapat semakin memburuk, tanggal 9 Maret 1950 Pemerintah Republik Indonesia Serikat memberlakukan Undang-undang yang melegalkan pembubaran negara bagian yang dikehendaki oleh rakyat dan pemerintahnya. Berdasarkan Undang-undang tersebut maka Negara Bagian Madura, Jawa Timur dan Jawa Tengah dinyatakan bubar, dan wilayahnya diterima kembali ke pangkuan Republik Indonesia. Pada bulan itu juga seorang berjiwa