Raden Bugan menyadari bahwa kedudukan yang baru dicapainya sebagai penguasa Sumenep, yang menjadi hak warisnya, terjadi semata-mata berkat jasa Trunojoyo. Dan beliau tidak melupakan bahwa ayah dan semua sesepuhya terbunuh dalam perang menentang ekspansi Mataram ke Madura. Hal itu di ketahuinya atas dasar ceritera dan para pembantunya bahwa para leluhurnya gugur atas pengkhianatan Pangeran Cakraningrat I.
Dengan demikian maka sejak itu beliau tidak rnenghormati Cakraningrat II, dan juga tidak mau tunduk kepada Amangkurat II sekalipun telah membenrikannya gelar kehormatan menja Tumenggung Yudonegoro.
Sangat disayangkan Tumenggung Yudonegoro membuat tindakan sangat buruk bagi negaranya, karena untuk membebaskan diri dari kungkungan Mataram, beliau minta bantuan dan perlindungan Belanda. Bahkan ikut membantu Belanda menumpas pembangkangnya yakni Sunan Giri Ill (Suan Perapen).
Padahal Sunan Perapen adalah pengasuh sekaligus sebagai guru dari Yudonegoro bahkan bekas sekutu Trunojoyo yang telah mengangkat dirinya sebagai penguasa Sumenep. Karena tindakan tersebut maka beberapa Ulama di Sumenep memberontak kepada Yudonegoro, namun semuanya dapat diatasi dengan baik.
Sedangkan pihak Belanda bagaikan mendapar durian runtuh atas kehendak serta kemauan Yudonegoro yang meminta bantuan kepadanya. Sekalipun Sumenep tidak memberi keunntungan segi perdagangan, tapi atas ketenangan di Sumenep akan memperlancar perniagaan dan petuajangan politik VOC di tempat lain.
Tumenggung Yudonegoro tidak mempunyai putra laki-laki, ketika meninggal dunia pada tahu 1672 maka keempat menantunya berebut tahta untuk menggantikan kédudukanya. Disini Belanda berperan sebagai hakim, yang mana Pangeran Wirasekar dan Pangeran Pulangjiwo dijadikan adipati Sumenep, sedangkan Pangeran Gatutkaca dan Pangeran Baskara dijadikan Adipati di Pamekasan