Setelah penguasa kembar tersebut, maka Sumenep berturut-turut diperintah oleh Raden Rama Pangeran Cokronegoro II – putra Pulangjiwo (1678-1709), Raden tumeggung WiromenggoIo putra Wirasekar (1709-1731), Raden Ahmad Pangeran Jimat putra Raden Rama (1731-1744), Raden Aiza Pangeran Cokronegoro IV / Pangeran Lolos (1744- 1749) putra Tumenggung Wiromenggolo. Kesemua penguasa Sumenep tidak berdaulat penuh, namun masih tetap berada di bawah bayang-bayang pemerintah Belanda.
Dan setelah Ke Lesap putra selir Cakraningrat IV Bangkalan (1749-1750) berkuasa dengan merebut secara kekerasan, baru Sumenep berdaulat penuh tapi hanya seumur jagung. Selanjutnya setelah Sumenep ditinggal lolos oleh Pangeran Cokronegoro V, pemerintahannya dipegang oleh saudara sepupu perempuannya yang bernama Raden Ayu Tirtonegoro (1750-1762).
Dalam penerapan penguasaannya atas Madura, VOC mendudukkan dirinya di puncak pyramid kekuasaan yang semula ditempati oleh raja Mataram sebagai yang dipertuan. Istana Gubernur Jenderal di Betawi menjadi pengganti keraton Raja Mataram, sedangkan sistem pemerintahan oleh Bupati atau Raja bawahan tidak dilestarikan dan selalu diganggu.
Karena itu maka segala perintahnya diteruskan melalui saluran birokrasi bertingkat yang telah membudaya sejak zaman Majapahit. Hanya perbedaannya pada masa pemerintahan Belanda bila seorang penguasa baru diangkat diharuskan menandatangani pernyataan yang berisikan perincian persyaratan ketergantungannya kepada VOC/Belanda.
Dalam pembahagian serta penetapan sebagai penguasa di Sumenep, Belanda sebagai pengatur yang kemudian dianggap sebagai Dewa penolong yang menuntut imbalan kepadanya. Pada awalnya Belanda minta hak untuk mendirikan gudang dan pusat perkantoran dagang yang diperkuat seperti benteng dan disebut loji. Tak lama kemudian lalu menganggap Sumenep sebagal wilayah pengaruh kekuasaannya. Jadi seakan-akan Sumenep terlepas dari mulut harimau Mataram untuk jatuh ke cengkeraman buaya Belanda.