Lontar Madura beberapa waktu lalu menemui Edhie Setiawan, SH, tokoh Tionghoa Sumenep yang sekaligus Budayawan yang sangat kental dengan budaya Sumenep. Tokoh Tionghoa Sumenep yang merupakan keturunan ke-9 dari leluhurnya ini bercerita banyak tentang sejarah etnis Tionghoa di Sumenep.
“Jadi di Sumenep ini etnis Tionghoa sudah ada sejak jaman kerajaan dahulu. Dan sudah berasimilasi dengan penduduk lokal, termasuk saya yang biasa dipanggil dengan sebutan “Yok” yang berasal dari kata “Buyut”. Sedangkan ungkapan Singkek yang berasal dari kata “Sin” (baru) dan “Kek” (tamu) adalah keturunan Tionghoa yang datang di era tahun 1920-an. Dan kebanyakan adalah warga Tionghoa Batavia yang bermigrasi ke Sumenep,” kata Edhie.
Yang menjadi pertanyaan kata Edhie adalah kenapa warga Tionghoa dari Batavia bermigrasi ke Sumenep. Ada apa dengan Sumenep? Ternyata setelah banyak membaca literatur sejarah dan sejarah tutur dari pendauhulunya, adalah bahwa Sumenep dikenal dengan masyarakatnya yang terbuka untuk semua etnis dan budaya. Diyakini oleh Edhie bahwa hal itu tidak lepas dari pemimpin Sumenep yang bisa membawa memimpin masyarakatnya.
“Apresiasi tinggi untuk Panembahan Sumolo Asiruddin yang sudah menjadikan Sumenep seperti sekarang ini. Dengan konsep “Ajala Sotra” Sumenep menjadi sebuah wilayah dan masyarakat yang terbuka dan bisa damai hidup rukun dengan etnis dan agama apapun,” sanjung Edhie.
Kebersamaan hidup di Sumenep dicontohkan Edhie Setiawan seperti di daerah Pabian Sumenep, dimana di daerah itu keberagaman etnis dan agama bisa berjalan beriring. Di daerah Pabian terdapat rumah ibadah masjid, gereja dan kelenteng yang menjadi barometer kebersamaan dana perbedaan. Dan terbukti, sejak dulu hingga sekarang tidak pernah ditemui “bentrokan” antar pemeluk agama yang saling berbeda itu.
Salah satu jejak Tionghoa di Sumenep adalah Pecinan di kota Sumenep. Keberadaannya kini terasa nisbi. Pecinan sulit terlacak karena terjepit toko-toko yang menjamur di kota Sumenep. Generasi muda sulit mengetahui bahwa di Sumenep ada kampung China. Beda dengan Kampung Arab yang hidup dengan aneka kebudayaannya, Pecinan tak terasa sekali nuansa kulturnya.
Pecinan hanyalah kampung nostalgia yang keberadaannya kini hanya berbentuk kumpulan toko. Kebudayaan Tionghoa hampir tak tampak. Namun, sejak tahun lalu, kebudayaan Tionghoa mulai ditampilkan. Atraksi Barongsai ditampilkan pada perayaan Hari Jadi Sumenep tahun 2011 lalu di depan Masjid Jamik Sumenep. [ Gie ]