Para Penyebar Islam Awal di Madura
Penulis: Arafah Pramasto Sastrosubroto, S.Pd dan Sapta Anugrah Ginting, S.Pd,
Proses Islamisasi di Madura pada tingkat kaum birokrat tradisional belum banyak terlihat hasilnya saat usaha tersebut dilakukan oleh sesama kaum birokrat tradisional seperti halnya Arya Menak Senoyo. Aktivisme yang terbatas pada proses tersebut masih menunjukkan peran individual dalam kisah Lembu Peteng.
Namun, bukan tidak mungkin untuk masyarakat sekitar kawasan Madura yang banyak berinteraksi dengan dunia luar, keislaman tampak diterima oleh orang-orangnya, walaupun untuk kelas masyarakat yang lebih tinggi belum menunjukkan penerimaan kepada kepercayaan Islam. Menak Senoyo dan Lembu Peteng adalah dua tokoh mewakili kalangan bangsawan yang kisahnya terkait dengan genealogi-sebagai leluhur-para bangsawan Madura setelahnya.
Selain itu, mereka tetap patut dicatat sebagai pembawa perkembangan awal agama Islam di pulau ini. Selain para bangsawan itu, dalam waktu hampir bersamaan pula, pengenalan Islam ikut dilakukan kalangan agamawan. Ulama-ulama Islam menempati posisi penting dalam rangka penyebaran agama ini sehingga mereka kerap disebut dengan gelar wali yang artinya adalah orang-orang yang dekat (dengan Allah).” Para wali atau waliyullah (wali Allah) bukanlah gelar yang dianugerahkan karena para tokoh ini berada pada kelas masyarakat teratas.
Waliyullah adalah gelar yang menandai tingginya tingkat spiritual seseorang; secara kontekstual dalam sejarah Madura para waliyullah dalam usaha penyebaran Islam memang melalui perjuangan yang berat dengan menghadapi berbagai cobaan. Rintangan yang mesti dilalui oleh kaum agamawan itu hanyalah bagian kecil dari sebuah kondisi yang secara kultural menunjukkan bahwa Islam diusahakan untuk hadir di tengah peradaban yang lebih dahulu mapan, termasuk pada bidang politik. Tentang bagaimana kelanjutan dari proses besar penyebaran Islam/Islamisasi ini, sebelumnya kita perlu meninjau dunia perpolitikan serta figur-figur pemimpin tradisional Madura.
Telah sedikit dijelaskan sebelumnya tentang Arya Menger yang menggantikan Lembu Peteng sebagai Kametowa Madegan, salah seorang anak Arya Menger bernama Arya Pratikel yang bertempat tinggal di pulau Mandangel memiliki satu anak perempuan bernama Nyi Ageng Budho. Ketika menginjak usia dewasa, Nyi Ageng Budho diperistri oleh Arya Pojok, yakni cicit dari Arya Menak Senoyo pendiri Proppo.
Di kemudian hari Arya Pojok menggantikan kakek istrinya sebagai Kametowa di Madegan. Nyi Ageng Budho memperoleh anak dari Arya Pojok yang nanti ditempatkan oleh ayahnya sebagai Demang di Plakaran maka anak lelaki Arya Pojok ini dihormati oleh rakyatnya dengan nama Arya Demang Plakaran. Pendahulu bagi para penguasa di Sampang, Bangkalan, dan Pamekasan adalah Arya Demang Plakaran. Secara fisik, Arya Demang Plakaran dikenal memiliki wajah yang tampan dan tubuh yang gagah. Ia menikah dengan Nyi Sumekar, yakni anak Nyi Randha dari Desa Plakaran.
Menurut kisah setempat, walaupun telah memiliki istri, masih banyak orang yang ingin bermantukan Demang Plakaran karena ketampanannya itu. Maka dari itu ia memiliki banyak istri dan mempunyai anak sebanyak 30 orang. Dengan istri pertamanya, Nyi Sumekar, Arya Demang Plakran memiliki lima anak yang seluruhnya adalah lelaki. Putra sulungnya bernama Arya Pramono dan yang paling bungsu bernama Arya Praghalba. Arya Pramono kelak menggantikan posisi kakeknya (Arya Pojok) sebagai am owa di Madegan, sedangkan Arya Praghalba memimpin di tempat yang baru ia dirikan bernama Arosbaya di barat laut Plakaran, lama-kelamaan Arya Praghalba mengangkat dirinya sebagai rato (raja) 2³ dan memimpin Kerajaan Arosbaya-Plakaran. Tiga putra Demang Plakaran lainnya dari Nyi Sumekar ada yang bernama Arya Pratolo yang berkuasa di Parombasan, gelarnya adalah “Pangeran Parombasan”, selain itu ada juga yang bernama Arya Pratali (berkedudukan di Pesapen) dengan gelar “Pangeran Pesapen”, dan yang terakhir (anak keempat) ialah Pangeran Panangkan. Demang Plakaran sepertinya sangat menyayangi anak bungsunya dan ketika seluruh putra lainnya-yang tertua hingga yang keempat-memperoleh tempat berkuasa, justru Arya Praghalba yang dipercaya untuk menggantikan posisinya dengan mengizinkan Plakaran masuk menjadi kekuasaan Arosbaya.
Tentang pembukaan wilayah Pamelingan oleh Arya Mengo yang hampir bersamaan dengan pendirian Proppo/ Parupuk oleh Arya Menak Senoyo, putra Lembu Peteng ini lebih banyak menghabiskan waktu untuk bertapa. Karena kebiasaannya itu, daerah yang baru ia buka/ bangun dinamakan ‘Pamelingan’, diambil dari bahasa Jawa eling (mengingat) sebagai tanda bahwa Arya Mengo banyak mengingat Tuhan.
Tujuan dari pertapaan Arya Mengo ialah karena dirinya telah lama tidak memiliki seorang anak. Harapannya itu akhirnya terwujud dengan lahirnya seorang putri yang dinamai Nyi Banu. Berlainan dengan kebanyakan sistem perpolitikan yang dijalankan para keturunan Majapahit di Madura kala itu, ketika Arya Mengo wafat, masyarakat Pamelingan justru mengangkat anak perempuan Arya Mengo sebagai pemimpinnya maka ia bergelar sebagai Nyi Banu Rato.
Namun, tampaknya dalam ukuran geopolitik Madura masa itu kepemimpinan seorang wanita belum terlalu kuat untuk mempertahankan sebuah kesatuan politik seperti Kerajaan Pamelingan yang terhitung masih “muda” (tidak setua Sumenep maupun Madegan). Pada masa pemerintahannya kemudian, Nyi Banu Rato menikah dengan Kametowa Madegan yaitu Arya Pramono. Penuturan ini penting untuk melihat bahwa relasi antar-otoritas wilayah kekuasaan serta penguasa-penguasanya, ialah kembali kepada nasab dua keturunan Majapahit, yakni Lembu Peteng dan Arya Menak Senoyo.24
Perlu dimengerti bahwasanya keturunan-keturunan Lembu Peteng dan Arya Menak Senoyo yang ada di Madura Barat mempunyai akar historis yang berbeda dengan Madura Timur dengan Sumenep sebagai pusatnya. Kerajaan Sumenep dalam kesejarahan pra Islam Madura justru berasal dari kalangan elite politik yang perannya lebih “tua”, yaitu sebagai keturunan dari Arya Bangah selaku saudara dari Arya Wiraraja. Namun, setelah kedatangan dua keturunan Majapahit tersebut, Madura Barat kembali terdengar dalam geopolitik Madura.
Dalam masalah kedinastian pun, Madura di masa ini semakin dikuasai oleh kalangan yang terkait. langsung dengan penguasa Majapahit. Apabila dahulu Sumenep berjaya di bawah Joko Tole yang kecakapan memerintahnya diperkuat melalui pernikahan dengan Dewi Ratnadi (putri Raja Majapahit), pada era ini justru Madura dikuasai langsung oleh keturunan dari penguasa Majapahit yang tengah memerintah.
Hal ini tentunya memengaruhi sikap kepemimpinan para penguasa Madura Barat sehingga mereka tidak hanya menganggap dirinya sebagai wakil pemerintah Majapahit di Madura, tetapi lebih dari itu justru ini membuat mereka merasa sebagai penerus Kerajaan Majapahit yang sedang melemah. Konsekuensi dari genealogi kepemimpinan politik itu ikut membentuk sikap arogansi menentang penyebaran Islam, sebagaimana sikap awal Lembu Peteng yang sempat membenci agama ini.
23 Tampaknya hanya sebagai viceroy atau ‘raja muda’ yang masih mengakui Majapahit.
24 Hal ini senada dengan tulisan Sulaiman Sadik, (2006: 65-66) sebagaimana keterangan dalam anotasi referensinya yang bernomor (43) bahwa pendapatnya itu diperoleh dari seorang budayawan lokal yang beralamat di Jl. Sersan Mesrul (Kota Pamekasan) pada 1990.