Praghalba merupakan seorang rato yang berkuasa di Arosbaya. Dilihat dari gelar yang ia sandang, ‘rato’ (raja), Arosbaya telah menyatakan diri sebagai sebuah kerajaan independen, mungkin dengan kemerdekaan yang terbatas karena walaupun tengah melemah, Majapahit masih memegang kendali atas Madura. Sebagai kerajaan ‘anakan’ yang lahir dan berdiri dari nasab Lembu Peteng (selaku Kametowa pertama Madegan), hampir tidak mungkin Arosbaya merdeka sepenuhnya dari pengaruh Jawa.
Kebijakan Rato Praghalba tidak menunjukkan sikap bersahabat dengan Islam. Saat Praghalba memerintah, terdapat seorang ulama bernama Syarif Husain. Secara genealogi, Syarif Husain adalah putra Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) bin Raden Rahmat (Sunan Ampel). Syarif Husain hijrah dari tanah Jawa ke Arosbaya, tepatnya di Desa Sangkah untuk menyebarkan Islam di Madura. Melalui pernikahannya dengan wanita setempat bernama Sulal, Syarif Husain memperoleh dua anak yakni Abdul Manan dan Abdurrahman.
Penyebaran Islam oleh Syarif Husain tidaklah mudah, kemungkinan ia telah berada di Sangkah sebelum Rato Praghalba membangun Arosbaya jika dilihat dari adanya pernikahan keturunan Lembu Peteng yaitu Retno Dewi dengan anak Sunan Giri.
Sedikit disinggung sebelumnya, bagaimana Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran dan kelak akan dianeksasi oleh Demak yang didirikan oleh Raden Patah. Menjelang masa itu pada 1527 Madura telah memiliki Keraton yang mapan sebagai akibat dari kedatangan para keturunan penguasa Majapahit. Sebut saja Madegan, Proppo, Pamelingan, Plakaran, dan Arosbaya.
Banyak pendapat yang masih melihat bahwa Madura Barat sebagai daerah bawahan Sumenep yang lebih tua keberadaannya. Tetapi pendapat ini seperti yang disebutkan, kurang memiliki landasan apalagi dengan adanya fakta sejarah bahwa Madegan juga telah menjadi vassal Majapahit. Kelahiran Kerajaan Arosbaya yang terkait dengan penyebaran Islam dimulai dengan masa ramainya perdagangan di sekitar Pulau Jawa bagian timur dan Arosbaya yang kemudian menjadi Bangkalan.
Di Jawa, di muara Sungai Lamongan dan Brantas terletak kota perdagangan tua Gresik dan Surabaya. Antara 1400-1600 M, kedua kota pantai ini dengan Tuban yang letaknya lebih ke barat, merupakan pusat perdagangan Jawa Timur, turut mendukung berkembangnya pelabuhan Arosbaya (Madura Barat) (Suaidi, 2013: 615). Pasti dengan alasan itu Praghalba ditugaskan ayahnya untuk memimpin wilayah Arosbaya.
Sebagai sebuah pelabuhan dagang yang ramai, kedatangan orang-orang Islam telah menjadi sebuah kepastian bagi Arosbaya karena hubungannya dengan beberapa tempat yang sudah terpengaruh Islam seperti Gresik, Tuban, dan Surabaya. Hubungan antarwilayah yang di dalamnya terdapat Arosbaya dan Gresik mengidentifikasikan adanya pergeseran kedekatan kesatuan politik Madura yang sebelumnya ditunjukkan dalam hubungan Sumenep-Gresik (utamanya masa Joko Tole-Pen).
Selain dari itu, informasi-informasi tentang perkembangan politik di tanah Jawa lebih cepat didengar Arosbaya. Dari sisi geografis, Arosbaya juga lebih dekat dengan Jawa karena menghadap Selat Madura yang moncong di barat lautnya berbentuk “corong”, agak dangkal dan lebarnya tidak lebih dari beberapa mil laut (Suaidi, 2013: 615). Dengan ini, cepatnya penyebaran Islam kian terasa untuk Madura yang telah bersentuhan bahkan sebelum berdirinya kesatuan politik Arosbaya.
Syarif Husain yang berada di Sangkah memiliki “daya pikat” yang sedemikian kuat bagi masyarakat sekitar. Pengikut Syarif Husain juga semakin bertambah seiring dengan perkembangan dakwahnya. Sayangnya, perkembangan pengikut/santri yang semakin banyak itu justru menjadi awal ujian berat untuknya. la difitnah akan melakukan pemberontakan di Arosbaya. Mendengar kabar tersebut, Praghalba meradang dan marah besar karena khawatir Syarif Husain akan menggulingkan kekuasaannya dan mengubah Arosbaya menjadi kerajaan Islam.
Praghalba memerintahkan agar pasukannya menyerang Desa Sangkah dan membunuh Syarif Husain. Jika dilihat dalam kisah ini, tatkala penyerangan terjadi, kedua putra Syarif Husain sudah beranjak dewasa maka benar perhitungan bahwa Arosbaya memang baru berdiri. Tentang isu akan memberontaknya Syarif Husain, hal ini bisa saja diembuskan sendiri oleh Praghalba sebagai alasan penyerangannya.
Agaknya malah pendirian Arosbaya oleh Praghalba lebih tepat disinyalir sebagai usaha anak Demang Plakaran itu untuk menghentikan dakwah Syarif Husain karena telah geram dengan penerimaan masyarakat lokal Madura kepada Islam, motifnya tidak saja memuat alasan religius, tetapi juga karena Islam adalah agama egaliter yang sama sekali tidak mengenal kasta, Praghalba melihat itu sebagai ancaman kepada agama maupun kedudukannya.
Kedua putra Syarif Husain berhasil meloloskan diri ke arah timur Madura dengan membawa tugas yang menjadi wasiat terakhir ayahnya: menyebarkan Islam. Cerita rakyat yang beredar memercayai bahwa serangan pasukan Arosbaya tidak langsung berhasil membunuh Syarif Husain, senjata senjata utusan Praghalba tidak ada yang mempan terhadapnya. Namun, karena ketinggian spritualitas Syarif Husain, ia memberitahukan kelemahannya kepada prajurit Arosbaya hingga akhirnya ia menjadi martir (syahid) dalam tragedi itu.
Sesuai dengan perintah rajanya, pasukan Arosbaya membuang jasad Syarif Husain ke tengah laut utara Madura. Pasukan Arosbaya ternyata tidak sebatas mengalami kesulitan dalam menekuk lututkan Syarif Husain saat hidup. Tidak lama dari mereka membuang jasad Syarif Husain, ada kejadian yang membuat mereka tercengang.
Konon datanglah segumpal tanah yang mengambangkan dan menyelimuti jasad ulama ini dan membawanya kembali ke pesisir Desa Sangkah. Jasad itu akhirnya termakamkan sendiri di sana dan oleh sebab itu Syarif Husain dimuliakan dalam syahidnya sebagai Syarif Husain “Banyu Sangkah” (Syarif Husain Air Sangkah).
Berita tentang apa yang terjadi pada jenazah Syarif Husain tersebut disampaikan kepada Praghalba. Raja keras hati itu merasa “tertampar” sekaligus takjub dengan laporan para prajuritnya, terlebih lagi para pengikut Syarif Husain maupun mereka yang belum menerima Islam ikut mendengarnya, hal itu membawa pengaruh besar pada diri Praghalba yang sebelumnya merasa benar-dengan melakukan serangan ke Sangkah-atas pembelaan pada kepercayaan maupun kekuasaannya.
Sejak itu Rato Praghalba sering merenung dan menyendiri. Raja pertama Arosbaya itu diam-diam merasa sangat menyesal atas keputusannya. Untuk menenangkan diri dan menemukan jawaban bagi kegundahan hatinya, ia memutuskan melakukan semedi, hasil yang didapatkan dari persemediannya tersebut, Rato Praghalba mendapatkan wangsit bahwa dirinya harus masuk Islam: sesuatu yang jauh dari perkiraannya (Fauzi, 2013: 12-13).
Praghalba bukanlah seseorang yang menyerahkan semuanya pada proses meditasi. Oleh karenanya, setelah melakukan semedi/tirakat, ia mulai kembali berpikir atas apa yang telah ia lakukan dan tentang kegundahan hatinya atas hasil dari keputusannya untuk memakai kekuatan bersenjata. Dalam pengkajian di era modern memang sering didapati perbedaan pendapat tentang definisi antara tirakat dan meditasi, tetapi secara umum kegiatan itu cenderung sama.
Meditasi ialah perhatian kepada sumber kebahagiaan dan kegelisahan yang sebenarnya yakni mind set atau pola pikir itu sendiri, pola rasa mereka, dengan memperhatikan ke dalam diri sendiri, ke dalam pikiran sendiri, dan rasanya sendiri (Agephe, 2010: 170). Meskipun begitu, semedi cenderung untuk mengolah perasaan dengan menenangkan pikiran maka sesudah menempuhnya Praghalba kembali melakukan tindakan yang sesuai dengan akal sehat dan memakai pemikirannya secara lebih aktif. Setelah bersemedi, ia memanggil patihnya yang bernama Mpu Bagenno.
Tulisan bersambung: