Tidak diketahui apakah Mpu Bagenno sebelumnya juga ikut menyarankan atau mendukung keputusan Praghalba dalam penyerangan ke Desa Sangkah. Berdasarkan kepercayaan, wangsit yang diterima Praghalba memerintahkannya untuk belajar Islam, tidak kepada Sunan Ampel maupun Sunan Giri, tetapi kepada Sunan Kudus. Mpu Bagenno ditugaskan mencari informasi mengenai Islam dari Sunan Kuddus, tampaknya hal itu lebih dikarenakan Praghalba ingin mengetahui Islam dengan lebih komprehensif.
Kuddus yang terletak di Jawa Tengah cenderung lebih jauh dari Madura sehingga informasi yang akan didapat lebih adil (netral] tanpa dipengaruhi efek-efek dari keputusan Praghalba membunuh Syarif Husain: pastinya berita tragedi itu telah menyebar di sekitar Ampel, Tuban, dan Surabaya. Mpu Bagenno bergegas pergi ke Kudus.
Kedatangan Mpu Bagenno disambut baik oleh Sunan Kudus. Tanpa disangka, ternyata Patih Kerajaan Arosbaya itu telah lama ingin memeluk Islam, tidak heran jika ia kemudian langsung bersyahadat di hadapan Sunan Kuddus tidak berapa lama dari kedatangannya. Mpu Bagenno adalah seorang yang cerdas, sebagai seorang pejabat keraton ia mendapatkan pendidikan yang cukup baik semasa hidupnya.
Melalui bimbingan Sunan Kuddus ia belajar berbagai amalan wajib serta bermacam jenis pengetahuan keilmuan Islam. Setelah ia begitu paham, ia digelari sebagai seorang Pendito (Madura: Pandhita), sekarang lebih dikenal dengan sebutan ‘Kyal’ dalam masyarakat Islam Indonesia. Sunan Kudus merasa bahwa Pandhita Bagenno telah cukup mampu untuk mengemban tugas penyebaran Islam ke Madura, ia diminta untuk kembali ke Arosbaya. Ketika sampai di Arosbaya, Pandhita Bagenno menceritakan segala hal tentang Islam dan menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan oleh Rato Praghalba.
Merasa kagum atas pengetahuan yang dimiliki Pandhita Bagenno, Rato bertanya bagaimana memperolehnya. Bagenno menjelaskan bahwa ia telah memeluk Islam dan belajar ilmu agama itu secara sungguh-sungguh hingga Sunan Kuddus memberinya gelar sebagai Pandhita. Karena satu jawaban itu Rato Praghalba marah besar, ia menilai patihnya telah lancang mendahuluinya masuk Islam. Karena kesalahannya itu, Pandhita Bagenno akan dihukum mati. Namun, karena putra kesayangan Praghalba yang bernama Pangeran Pratanu memohon agar Bagenno diampuni dari hukuman mati, Rato tidak mempunyai pilihan selain memenuhi permintaan anak yang sangat ia cintai.
Sebagai seorang raja, Praghalba tetap memiliki rasa tinggi hati serta tidak dapat menolerir siapa pun-apalagi orang-orang yang berada di bawah status sosialnya-yang melangkahi kekuasaannya. Akibatnya ialah Rato Praghalba masih belum berkenan memeluk Islam yang kemudian disebarkan oleh Pandhita Bagenno, walaupun Pangeran Pratanu masuk Islam dari dakwah mantan Patih Arosbaya tersebut. Sebelum menjemput ajal, Rato Praghalba mengangkat Pratanu sebagai putra mahkota pada 1528, setahun setelah kejatuhan Majapahit.
Pangeran Pratanu digelari sebagai “Pangeran Adipati Anom” yang ditandai dengan Candra Sangkala berbunyi Sirno Pendowo Kertaning Negri atau tahun 1450 Saka yang sama dengan 1528 M. Ada yang menganggap bahwa pengangkatan Pangeran Pratanu sebagai putra mahkota sebagai awal mula pemerintahan Islam di Arosbaya. Pertimbangan pengangkatan ini oleh Rato Praghalba juga mengandung motif politik yang dipengaruhi perkembangan di Jawa. Abdur Rahman Rozaki mengutip dari Graaf mengutarakan kemungkinan bahwa penguasa di Madura Barat-sebenarnya seorang vassal yang patuh terhadap Maharaja “kafir” (non Islam) pada 1528 memutuskan mengakui raja Islam baru di Jawa sebagai atasannya (Rozaki, 2004: 45).
Maka dapat dilihat dari kejadian itu, bahwa Pangeran Pratanu selaku putra mahkota yang diserahi kepemimpinan telah memilih untuk menjadikan Arosbaya menjadi kerajaan Islam di bawah kendali Demak. Tiga tahun setelahnya, Rato Pragalba sekarat-terganggunya kesehatan turut menjadi faktor untuk memilih Pratanu sebagai kepala pemerintahan-di hadapan putranya. Pangeran Adipati Anom Pratanu terus berusaha mengajak ayahandanya memeluk Islam, termasuk saat Praghalba di atas ranjang kematian.
Tatkala Pangeran Pratanu menuntun Rato Praghalba mengucapkan dua kalimat syahadat, ayahandanya mengikutinya dengan sekadar menganggukkan kepala sebagai tanda penerimaan/ kesudian memeluk Islam. Karena kejadian itu Praghalba mendapatkan gelar Islam Onggu’yang artinya “Raja yang Memeluk Islam dengan Cara Mengangguk” (Sadik, 2006: 74). Kisah ini memastikan bahwa Kerajaan Arosbaya mempunyai pemimpin pertama-Rato Praghalba yang beragama Islam meskipun ia bersyahadat baru saat akan menjelang ajal. Secara konkret, corak Islam baru dilaksanakan di bawah pemerintahan anaknya yang semula bergelar Pangeran Adipati Anom Pratanu, kemudian ia berkuasa dengan gelar Panembahan Ki Lemah Duwur.
Tulisan bersambung:
____________________________________
Tulisan ini dinukil dari buku “Sejarah Tanah Orang Madura”, Penulis Arafah Pramasto Sastrosubroto, S.Pd dan Sapta Anugrah Ginting, S.Pd, Penerbit Leutika, Januari 2018, halaman 89 – 96