Contohnya:
Astaghfirullah heran kaula
Zaman samangken bannya’ se gila
Bannya’ rosagan se bala-bala
Jau kalaban zaman se bila
Tapi yang paling lumrah pada syi’ir Madura larik satu berrima dengan larik dua, larik tiga dengan larik empat, dan seterusnya, sehingga bisa juga disimpulkan satu bait bukan empat larik, tetapi dua larik seperti seloka dalam sastra Melayu. Contoh seperti dalam data berikut:
Yusuf mancal Ya’qub Tanya
Adhu kacong badha apa
Ajja’ tako’ ajja’ bingong
Enga’ Allah dika kacong
Jumlah suku kata pada tiap –tiap larik bermacam-macam. Ada yang terdiri dari delapan suku kata, seperti contoh di atas. Ada juga yang terdiri dari sepuluh suku kata, seperti di bawah ini:
Mamolan bula nyebbut ka Allah
Nyebbut kalaban lafal Bismillah
Amoji bula ka Guste Allah
Kalaban lafal Alhamdulillah
Akhir-akhir ini ditemukan syi’ir yang berjudul Nurul Iman. Karangan K. Madjid Tamim, Pamekasan, yang diterbitkan oleh penerbit Said bin Nashir bin Nahban di Surabaya, dengan jumlah empat belas suku kata pada tiap-tiap lariknya, seperti data di bawah ini:
Nomer lema’ kodu iman dha’ are dhi-budhi
Sadaja makhlok ancor mate payaqinagi
Syi’ir-syi’ir yang terdahulu sulit diketahui siapa pengarangnya, di samping banyak syi’ir yang bagus yang tidak sempat diterbitkan. Biasanya penggemar syi’ir hanya mengutip dengan tulisan tangan, sehingga dapat tersebar luas. Salah-satu sy’ir yang pernah diterbitkan dalam media cetak untuk pertama kalinya, kemungkinan besar adalah Syi’ir Madura yang dikarang oleh Haji Abdul Gani, Bangil, yang dikarang pada tahun 1343 Hijjriyah, atau kira-kira tahun 1924 Masehi, diterbitkan oleh Penerbit Ahmad bin Said bin Nahban wa Auladuh, Surabaya. Pengarang-pengarang syi’ir yang lain selain K. Abd. Madjid Tamrin, dengan kitabnya Syi’ir Nabi Yusuf, ialah K.H. Abd. Mukmin Chanafi, K.H. Abunawas Bakri, ke duanya Sumenep K.H. Syarbini dan K. Djazuli, Ganding.
Semua syi’ir, baik yang ditulis maupun yang dicetak memakai huruf arab. Isi syi’ir secara keseluruhan menampilkan masalah-masalah keagamaan, baik tentang keimanan, akhlak, nasihat, riwayat nabi-nabi, dan masalah keakhiratan.
Pemakaian bahasa syi’ir biasanya agak cair, karena sifatnya yang ingin menjelaskan persoalan secara tuntas. Jadi pemakaian symbol, metafora, dan kekentalan kata-kata dengan konotasinya tidak begitu dipentingkan. Salah satu data saya kutipkan di bawah ini:
Ngimanagen dha’ naraka
Neko enggun reng daraka
Labangnga petto’ bannya’na
Kapanthapetto’ barnana
Egiring oreng se kafer
Kalawan oreng se mongker
Para’ ka penggirra
Nangis aeng mata dhara
Malaikat laju ngoca’
Ma’ ta’nanges ka Allah lamba’
Erantay tanang le’erna
Ecabbur ka tengnga’anna
Kalobang olar ban kala
Laju nyander ka reng sala
Dhalem apoy reng-cerrengan
Laban thowat long-tolongan