Terjemahan bebasnya :
Percaya pada neraka
Tempat orang yang durhaka
Pintunya ada tujuh
Dibagi tujuh macam
Dihalau orang kafir
Bersama orang yang mungkir
Hampir tiba di tepi neraka
Ia menangis dengan air mata darah
Malaikat lalu berucap
Mengapa dulu tidak mau menangis kepada Allah
Tangan dan lehernya dirantai
Lalu dijebloskan ke tengah api neraka
Kelabang, ular dan kala
Mendekati orang yang salah
Di dalam api menjerit-jerit
Dan berteriak minta tolong
Sebagaimana pada puisi-puisi Madura yang lain pada syi’ir Madura aspek rima juga penting, tetapi hanya pada suku kata terakhir pada tiap-tiap larik. Inilah sebuah contoh syi’ir yang rimanya sangat merdu dalam mendukung suasana :
Neserra badan bila pon mate
Coma ebungkos labun se pote
Kalamon tak esapora Guste
Ta’ burung ancor tolang se pote
Terjemahan bebasnya:
Kasihan diri bila sudah mati
Hanya dibungkus kain yang putih
Kalau tidak mendapat ampunan Gusti
Tentulah hancur belulang yang putih
Yang terpancar pada rima dan irama syi’ir di atas bukan hanya berupa pengertian, lebih dari itu ada saran lain yang merupakan daya gugah, sehingga pendengar yang mengerti bahasa Madura merasa dicekam ketakutan akan kematian yang sewaktu-waktu datang menyergap. Sebab itu syi’ir yang isinya bagus tetapi iramanya kacau dan rimanya kurang pas bisa kurang disenangi pembaca, karena menyulitkan pengucapan bila dilagukan. Hal seperti ini dalam bahasa Madura disebut gindhul. Gindhul bisa juga terjadi karena jumlah suku kata pada sebuah larik kurang atau lebih dari patokan jumlah yang telah ditentukan.
Tidak seluruh syi’ir yang ada baik mutu sastranya. Kadang-kadang terdapat juga syi’ir yang jelek karena pengarangnya kurang terampil mengelola kata-kata dan miskin pembendaharaan bahasa Maduranya, sehingga terjadi kejanggalan-kejanggalan dalam menjalin kata-kata maupun dalam mencari kata-kata yang ber-rima sehingga terasa jelas dipaksakan. Rima yang dipaksakan bukan hanya tidak enak dibaca atau didengar, bahkan bisa sangat mengganggu, sehingga pembaca bisa mencampakkannya.
Syi’ir dulunya hanya dilagukan di rumah-rumah. Tetapi sekarang sudah ada yang direkam pada kaset dan laris di pasaran. Di antara pelantun syi’ir yang dikasetkan ialah Aminullah dari Pamekasan.
Selain itu, karena di Madura sekarang ini banyak sekali group hadrah, di antara group hadrah itu ada juga yang menyanyikan syi’ir berbahasa Madura. Hal ini bisa membuat hadrah menjadi lebih komunikatif karena yang biasanya hadrah khusus menyanyikan puisi-puisi berbahasa Arab. (D. Zawawi Imron)