Pada waktu perayaan Wuku Galungan di kerajaan Daha Prabu Jayakatwang mengadakan acara pasasraman di manguntur. Mengadakan adu kesaktian antar prajurit perang kerajaan untuk mecari bibit-bibit unggul sebagai senopati perang kelak. Para jago yang diandalkan oleh Raden Wijaya yakni Lembusora, Ranggalawe dan Nambi maju ke arena pasasraman untuk berhadapan dengan para prajurit Daha yakni Kebomundarang, Mahesarubuh dan Pangelet.
Ternyata para prajuritnya Raden Wijaya lebih unggul karena waktu dalam pengasingan di Sumenep selalu melakukan latihan perang-perangan dengan memakai keris yang sampai saat ini diberi nama tari gambu. Di dalam kitab Pararaton tari tersebut bernama tari Silat Sudukan Dhuwung, yang di ciptakan oleh Adipati Arya Wiraraja (1269-1293) yang selalu diajarkan pada para pengiring Raden Wijaya kala ada di Sumenep.
Biasanya tari keris tersebut dilakukan kala Sang Adipati selesai melakukan pertemuan atau sidang para menteri di pendopo agung keraton Sumenep. Kemudia poleh dinasti Arya Wiraraja tari tersebut tidak pernah dilakukan hingga lama sekali. Dikala Mataram Islam diperintah Radèn Mas Rangsang Panembahan AGUNG Prabu Pandita Cakrakusuma Senapati ing Alaga Khalifatullah (Sultan Mataram 1613-1645), yang sangat peduli dan gemar pada kebudayaan dan kesenian tradisional. Dan kala itu Sumenep diperintah oleh kerabat Sultan Agung yang bernama Adipati Tumenggung Anggdipa sekitar tahun 1630, tari tersebut dihidupkan kembali. Dengan demikian tari tersebut diberi nama tari kambuh (kambuh dalam bahasa Jawa berarti hidup kembali) dan lama kemudian berubah aksen menjadi tari GAMBU.