Tari Rondhing adalah suatu bentuk drama tari komedi tradisional, yang menggambarkan tentang kegiatan baris-berbaris pada jaman penjajahan.Karenanya, seni tari asli Pamekasan, Madura, Jawa Timur ini, disebut juga tari baris. Ada pula yang menyebutnya tari kenca’ atau hentak, karena gerak tariannya dominan berupa gerak kaki yang dihentak-hentakkan ke lantai.Tarian Rondhing dipentaskan oleh enam orang penari. Biasanya, tarian ini ditampilkan pada saat acara penyambutan tamu penting.
Tarian yang dulunya diperankan oleh penari pria ini, sering juga ditampilkan dalam pembukaan acara pelantikan kepenguruan organisasi social dan organisasi masyarakat.
Seperti yang ditampilkan saat acara pelantikan pengurus Gabungan Petani Garam Rakyat (Gaspegar) Pamekasan ini. Dengan iringan musik tradisional Ul-daul milik Sanggar seni Mella’ Ate, yang artinya Hati Yang Terbuka, penari Rondhing memeriahkan ruang utama Pendopo Ronggosukowati Pamekasan.
Suara alat musik Ul-daul yang didominasi suara seruling khas Madura yang disebut Saronen ini, tampak menggema ke seluruh sudut pendopo.
Enam penari yang seluruhnya gadis remaja ini, tampak lincah dan tegap. Kaki-kaki mereka terus menghentak-hentak lantai marmer pendopo.
Karena dulunya diperankan oleh kaum pria, ke-6 penari Rondhing ini berpenampilan layaknya lelaki sejati. Mereka mengenakan penutup kepala yang oleh orang Madura dinamakan Odheng. Mereka tak mengenakan kain panjang, melainkan celana khas Madura yang disebut Pesak warna hitam legam.
Baju lengan panjang yang dililit selempang, dibalut rompi tampak gagah. Kedua kakinya mengenakan kaos kaki putih. Dan, kaki kanan penari berhias geleng sokoh atau gelang kaki khas Madura. Saat penari menghentakkan kakinya, suara gemerincing terpancar dari geleng sokoh ini.
Penari Rondhing makin bersemangat, saat peniup seruling Saronen meliuk-liuk ditimpa suara kenong dan gendang.
Pemilik Sanggar Mella’ Ate, Suwarno, mengatakan, tari Rondhing harus dimainkan dengan gerakan dinamis. Disini ak ada sabetan selendang gemulai. Yang ada malah gerakan tegas seperti langkah prajurit jaman dulu.
Suwarno mengaku sulit mencari dan melatih penari pria. Sebab, para cowok remaja sepertinya tidak lagi melirik seni budaya adilihung warisan leluhur Madura. Karena adanya penari perempuan, maka Suwarno tetap melatihnya. Meski agak sulit mengubah gerakan gemulai wanita menjadi gerakan tegas nan gagah.
makasih infonya sangat membantu