Ada keyakinan dalam bentuk kothéka – mitos atau klenik – masyarakat ketika membangun rumah tidak bisa sembarang lokasi sebagai untuk didirikan rumah tinggal, yakni:
- Pada awalnya pemilik rumah melihat bentuk tanah, apakah persegi empat, trapisium, segi tiga, dan lain sebagainya, setelah itu juga melihat kontur tanah yakni tentang kemiringannya, bentuk maupun kontur akan mempengaruhi pada penghunínya kelak.
- Memperhatikan Pranatamangsa, Han, tanggal dan bulannya harus diperhitungkan, termasuk bâbukon (Neptu), seperti masa Mareng (19 April — 1 Agusus), Katégha (2 Agstus 21 Desember), Labbhu (22 Desember — 25 Maret), Rendeng (22 Desember —25 Maret) dan lainnya.
- Selain itu terdapat sumber air, rumah yang ditempati akan ta’ odhes bân ta’ mongkat (tidak sempurna hidupnya dan tidak barokah) bagi penghuninya. Dan untuk mengetahui adanya sumber air atau tidak, dilihat dari tumbuh-tumbuhan yang ada diatasnya, seperti:
- pohon gayam
- pohon nyamplong (nyamplung )
- pohon kalampok (jambu air hutan)
- tumbuhan kalangbibing (tumbuhan paku yang berkembang biak dengan spora ditempat yang basah)
- Tumbuhan kolat (jamur) dan lain-lain berarti dibawah tanah tersebut ada sumber air.
- Atau dengan cara meletakkan beberapa tempurung kelapa yang diisi garam penuh, lalu ditelungkupkan dan diletakkan di beberapa tempat, kemudian ditinggal selama satu atau dua malam. Bila garam dalam tempurung ada yang lebih awal habis, berarti dibawah tanah ada sumber air. Dan banyak lagi cara untuk mengetahui ada tidaknya sumber air tersebut. Pada umumnya cara yang seperti ini, juga dilakukan bila akan membuat / menggali sumur