“Didalam tulisan prasasti ini mengingatkan padaku dan adanya bangunan pintu ini kepada orang yang menyempurnakan dan membangunnya yang menghrnapkan dari orang yang menyempunnakan dan yang meneruskan, maka barang siapa ingin berzianah, kepada yang memiliki kebun/ pemilik Asta ini, maka lupa ia masuk tidak melihat prasasti ini pentama kali, maka untuk yang kedua kalinya supaya berpikir dalam semua arti/maknanya, niscaya akan mengetahui kepada yang membangun dan yang menyempunnakan dan juga akan mengetahui apa yang diharapkan oleh yang menyempurnakan dan yang meneruskan.
Maka kalau ada orang yang paham atau mengerti bahasa Arab, maka tulisan ini tulisan Arabnya. Namun jika tidak mengerti bahasa Arab, dipersilahkan metihat tulisan yang ada di sebelah kiri. Kiranya jarang orang mengerti terhadap maknanya sebab ditulis dengan bahasa Jawa yang diterangkan saya dan semua maknanya prasasti ini.
Mudah-mudahan Allah SWT memberi ampunan kepada yang menyalin prasasti ini, yang menulis juga yang membantunya, dan yang memberikan petunjuk bagi orang-orang. Adapun yang membangun pintu ini, yaitu orang yang berpegang teguh pada Agama Allah, Sultan Pakunataningrat Raja di negeri Sumenep.
Dan adanya beliau berpulang ke Rahmatultah sebelum pintu ini selesai sempurna. Adapun setelah beliau wafat, maka yang melanjutkan atau yang menyempurnakannya ialah Putranya salah seorang Raja di negeri ini. Dan penyelesaian pintu ini serta diperbagus dengan sesuatu yang pantas baginya yakni : dengan kapur putih dan tanah rendah dan menulisinya pada kedua sisinya, semata-mata mengharap agar menyenangkan bagi yang melihat atau yang memandang dan untuk menutupi orang yang berziarah dan mau mengamankan dan orang yang dzalim terhadap peziarah yang berdo’a.
Maka bagi orang yang berziarah pada kuburan ini agar bersopan santun kepada pemilik Asta Tinggi ini sewaktu masih hidup, dan selesainya pintu ini pada tahun 1274 Hijriyah”.
Demikianlah isi prasasti di Asta Tinggi Sumenep tersebut, yang ditulis secara litterlouts dan agar dipahami sesuai dengan kemampuan para pembaca. Serta diharap jangan sampai menafsirkan tanpa mempunyai dasar pengetahuan tentang situs sejarah, apalagi ditulis dengan versinya sendiri, nanti akan menyimpang dari maksud serta tujuan yang sebenarnya dari prasasti tersebut, dan akibatnya akan merusak citra situs sejarah tersebut.
Sebagal bangsa yang berbudaya tinggi harus menghargai peninggalan situs sejarah dan jangan sampai merusak baik secara fisik atau menafsirkan dengan versinya sendiri yang tidak mengerti tentang bahasa prasasti sehingga terkesan menyudutkan ataupun mengagungkan figur tertentu.
Sedangkan para tokoh atau penguasa yang dikuburkan di komplek Asta Tinggi tersebut adalah keturunan Raden Bugan Wongsojoyo Tumenggung Yudonegoro sebagai Adipat I Sumenep ke 23. (Tadjul AR/Syaf Anton)