Pada abad ke-18 topeng dalang yang semula merupakan teater rakyat, kemudian diangkat menjadi kesenian istana. Di dalam lingkungan istana, ragam hias topeng yang sederhana dimodifikasi kembali. Bentuk dan kehalusan ukirannya diperindah, begitu pula dengan seni karawitannya, seni pedalangan sekaligus pemanggungan/pementasan. Sehingga pada masa itu, merupakan masa berkembangnya sastra Madura. Apalagi hubungan antara raja Madura dengan kerajaan Mataram semakin erat, sehingga pengaruh Mataram tak dapat dielakkan lagi.
Perkawinan antara seorang keluarga kerajaan Mataram dengan keluarga Madura, yaitu Pangeran Buwono VII (1830-1850) dengan salah satu putri raja Madura (Bangkalan), semakin mengokohkan jalinan kekeluargaan. Karena mertuanya senang dengan topeng dalang, Paku Buwono VII memberikan hadiah seperangkat topeng lengkap dengan busana dan perlengkapannya. Kehadiran topeng hadiah dari Solo ini sedikit banyak berpengaruh pada seni topeng Madura, terutama kehalusan ukiran-ukirannya.
Pada abad ke-20, setelah kerajaan-kerajaan mulai hilang dari bumi Madura, topeng dalang kembali menjadi kesenian rakyat dan mencapai puncak kesuburannya sampai tahun 1960. hal itu dapat dilihat dari banyaknya group kesenian, banyaknya dalang dan banyaknya pengrajin topeng di berbagai pelosok. Memasuki dekade 1960-an, topeng dalang mengalami masa surut. Hal ini disebabkan banyaknya tokoh-tokoh topeng yang meninggal dunia, sedangkan tokoh-tokoh muda belum muncul dan menguasai seni topeng dalang.
Pada tahun 1970-an topeng dalang kembali bangkit dan itu tidak terlepas dari jasa dalang tua Sabidin (dari Sumenep), yang tetap bertahan dan eksis dalam menggeluti topeng dalang sekaligus mendidik kader-kader muda yang berasal dari beberapa daerah di wilayah Sumenep. Pengkaderan diprioritaskan pada penguasaan materi pedalangan maupun mendidik penari-penari topeng. Kerja keras dalang Sabidin membuahkan hasil, murid-murid hasil didikannya mampu menguasai dan melestarikan kembali seni topeng dalang.