Fenomena ke-blater-an seperti yang dituturkan H Junaidi bahwa, para blater yang merepresentasikan diri sebagai “kesatria lokal” sangat banyak keberadaannya pada tahun 80 an. Karena tahun 80’an muncul fenomena penembak misterius (petrus)[3] banyak sekali kalangan blater yang menjadi korban.
H. Ahmad Junaidi sendiri tak mengetahui latar belakang munculnya petrus. Akibat petrus itu pula yang lambat laun menjadi faktor penghambat regenerasi blater hampir dikawasan Bangkalan dan Sampang. Walau sifatnya sementara, petrus cukup menjadi trauma bagi kalangan blater. Walau begitu tradisi blater tak bisa ditinggalkan, baik oleh desakkan negara maupun agama. Kasus petrus yang menimpa tokoh tokoh blater seperti H Suud dan saudaranya juga menjadi korban tak menuyurutkan langkah orang orang Madura. Menurut penuturan Ridwan, banyak sekali kalangan blater yang mengalami nasib seperti Suud, walau ia tak bisa menyebutkan namanya satu per satu.
Memang kalangan blater tidak menaruh hubungan yang diamteral dengan kalangan kyai. Bahkan dalam banyak kasus, sebagian besar blater adalah keluaran pondok pesantren atau setidak tidaknya menjalin hubungan dengan kyai guna mendapatkan ilmu kesaktian sebagai cara memenangkan carok. Sehingga tak mengherankan jika sebagian blater juga menempatkan kyai sabagi “patron”, khususnya kyai kyai yang memberikan andil bagi transformasi ilmu kepada sang blater.
Ada berbagai cara yang digunakan oleh pihak blater untuk menaikkan kewibawaannya, disamping merapat ke kyai mereka juga membangun berbagai sarana ibadah seperti masjid dan panti asuhan. Seperti yang dilakukan oleh Bahar, ia seorang blater rajeh (besar) yang amat disegani di Bangkalan. Masjid Bahar adalah sebuah masjid yang paling megah dan mewah di Bangkalan yang merupakan bangunan hibah yang diberikan Bahar kepada masyarakat, ia juga membangun panti asuhan dan meminta pemda untuk mengganti nama jalan didepan masjidnya (yakni; Jalan Raya Bangkalan-Arosbaya) untuk diganti sesuai dengan nama dirinya, yakni Jalan Bahar.