Tradisi Carok Sebagai Substansi yang Relasionalistik

Yang Satu dan Yang Banyak dalam Tradisi Carok

Dalam tradisi carok hal “Yang Satu” dan “Yang Banyak” bermuara pada unsur individualitas dan sosialitas pada tradisi carok itu sendiri. Carok bukanlah menekankan pada Filsafat individualisme, yang hanya mementingkan keharuman dan kehormatan pribadi, sebagai sosok yang disegani ketika memenangi duel, dalam pertarungan carok. Akan tetapi, carok juga bukan jenis Filsafat kolektivisme, yang menekankan sosialitas, yaitu membela keselamatan dan kehormatan keluarga. Carok dapat dikatakan sebagai tradisi yang mengakui dan menghargai keunikan dan otonomi individu, dalam kemampuannya bertarung dan mengekspresikan segala kehormatan dan kebanggaan pribadi, tetapi juga tidaklah mengabaikan adanya relasi antara kehormatan dan kebanggaan pribadi dengan keselamatan dan kehormatan keluarga.

Carok menekankan suatu prinsip bahwa relasi antara individualitas dan sosialitas harus ditandai dengan suatu keseimbangan. Oleh karenanya tradisi carok jelas menolak Filsafat individualisme, yang jelas-jelas hanya mementingkan kehormatan dan kebanggaan pribadi, dengan mengabaikan kehormatan dan keselamatan keluarga. Carok juga menolak Filsafat kolektivisme, yang juga hanya mementingkan kehormatan dan keselamatan keluarga, dengan mengabaikan kehormatan dan kebanggaan pribadi.

Pandangan tentang otonomi dan korelasi ini dalam masyarakat Madura dikenal dengan ungkapan: “Abango’ poteya mata etembang poteya tolang” (lebih baik mati daripada menanggung malu). Hal ini berarti menekankan pada kehormatan dan kebanggaan pribadi tanpa mengabaikan kehormatan dan keselamatan keluarga.

Hubungan antara “Yang Satu” dengan “Yang Banyak”, yaitu bahwa “Yang Satu” dengan “Yang Banyak” tercipta adanya hubungan saling menghargai, menghormati, mempengaruhi dan saling menjaga kehormatan, keselamatan dan martabat masing-masing. Relasi “Yang Satu” dengan “Yang Banyak” pada akhirnya akan melahirkan suatu komitmen untuk saling menjaga keharmonisan tatanan sosial yang ada.

Salah satu komitmen dalam konteks ini adalah anggapan masyarakat Madura yang terkait dengan persoalan tindakan mengganggu istri orang lain. Perbuatan ini dinilai sebagai suatu hal yang merusak tatanan sosial (arosak atoran). Jika tindakan ini dibiarkan berlarut-larut, maka tatanan sosial secara keseluruhan akan rusak. Oleh karena itu, demi menjaga agar tatanan sosial yang terlanjur dirusak itu menjadi normal kembali, pelakunya harus segera dibunuh. Dengan demikian kematian merupakan resiko yang harus diterima, sebagai “bentuk pertanggung jawaban” atas tindakannya itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.