Berdasarkan uraian di atas, yaitu aspek otonomi dan statisme dalam tradisi carok, maka dapatlah disimpulkan bahwa tradisi carok dengan pendekatan metafisika substansi yang substansionalistik, merupakan tindakan kekerasan, yang berujung pada pembunuhan. Artinya bahwa unsur kekerasan merupakan kenyataan paling dasariah, berdikari dan bersifat tetap dalam tradisi carok pada masyarakat Madura.
Dengan hasil kesimpulan di atas, penulis ingin mengutarakan bahwa secara normatif-etis-fundamental, tradisi carok tidaklah dapat dibenarkan. Normatif-etisfundamental penulis maksudkan sebagai tolok ukur pembanding terhadap tolok ukur yang lain, yaitu normatif-ontologis-transendental. Dengan tolok ukur normatif-ontologis-transendental memungkinkan adanya sikap pembenaran terhadap tradisi carok, tetapi tradisi carok menjadi suatu perilaku yang tidak dapat dibenarkan, dengan menggunakan tolok ukur normatif-etis-fundamental.
Normatif-etis-fundamental merupakan tolok ukur kebenaran terhadap tradisi carok, yang berpijak pada konsep “muka” (visage)-nya Emmanuel Levinas. Oleh karena itu sebelum mengamati lebih jauh tentang tradisi carok, penulis ingin mengupas tuntas pemikiran Emmanuel Levinas tentang visage, secara ringkas.
Pesan inti Levinas adalah agar kita ingat bahwa sejak semula, begitu kita bertemu dengan orang lain, kita bertanggung jawab atasnya. Bertanggung jawab atas keselamatannya, bertanggung jawab dalam kesadaran intuitif bahwa orang lain itu mudah terluka, amat peka, seluruhnya terserahkan kepada saya. Tanggung jawab itu adalah data pertama yang mendasari segala sikap yang diambil dengan sengaja kemudian. Data paling mendasar yang menjadi titik tolak segala sikap dan tindakan saya selanjutnya adalah bahwa saya berada demi orang lain, bertanggung jawab atas keselamatannya, berada di tempatnya untuk menanggung bebannya, secara a priori dan tidak timbal balik, artinya tanpa perhatian atas tanggung jawab orang lain atas saya.