Kenyataan eksistensial itu membuka suatu kepastian amat mendasar. Bahwa yang pertama adalah kebaikan, dan bukan kejahatan. Kita secara menyeluruh dikuasai oleh Yang Baik, pasivitas kita menunjukkan bahwa kita “dipilih” oleh Yang Baik. Intuisi dasar Plato bahwa idea Yang Baik dan bukan Yang Satu atau Yang Ada sebagai idea pertama yang dituju oleh segala pengada, yang menjadi daya tarik paling dasar segala dinamika dalam dunia yang ada, diangkat kembali oleh Levinas. Di titik paling pertama, “di seberang Ada”, Yang Baik muncul sebagai cakrawala yang sudah mencakup semuanya, termasuk segala salah jalan kemudian. “Etika di sini masuk ke dalam diskursus filosofis yang semula semata-mata ontologis” (Magnis-Suseno, 2000: 101-102).
Dengan demikian, etika Levinas dapat dijuluki etika penebusan. Etikanya bukan etika dalam arti keterampilan filosofis biasa. Etikanya adalah sebuah etika fundamental. Fundamental dalam arti bahwa data paling pertama eksistensi kita adalah tanggung jawab terhadap sesama, jadi sikap yang positif dan tidak negatif.
Panggilan untuk “menebus” sesama, untuk bersikap solider terhadap sesama, untuk menjadi “substitusinya”, merupakan kenyataan paling pertama yang kita hadapi. Karena itu, “metafisika”, “filsafat Pertama” menurut Aristoteles, bersifat etika dan bukan ontologi. Titik tolak paling pertama segala kesadaran saya bahwa saya harus mengakui dan melindungi orang lain dalam kelainannya. Dalam arti ini, “saya” dipanggil untuk “menebus sesama saya”. Ternyata manusia bukan serigala yang kemudian dengan susah payah harus dijinakkan, melainkan ia pertama-tama adalah “penjaga sesama saudara manusia” (Magnis-Suseno, 2000: 106).