Ketiadaan penghargaan, penghormatan dan perlindungan terhadap orang lain dalam tradisi carok merupakan indikasi kuat bahwa sikap pembenaran masyarakat Madura terhadap carok, tidaklah ditopang oleh dasar yang kuat, setidaknya perlu dikaji ulang dari segi normatif-etis-fundamental. Oleh karena itu tradisi carok tetaplah tindakan (perilaku) kekerasan dalam berbagai sebab dan motifnya, yang harus dilihat sebagai tindakan kejahatan terhadap orang lain dan tidak dapat dibenarkan keberadaannya.
Kesimpulan
Refleksi atas tradisi carok sebagai substansi yang relasionalistik tertuang dalam relasi antara “Yang Satu” dengan “Yang Banyak” berupa ungkapan “abango’ poteya mata etembang poteya tolang”. Relasi antara “Yang Tetap” dengan “Yang Berubah” tertuang dalam struktur kenyataan tradisi carok yang berkaki dua. Satu kaki berada dalam karakter khas masyarakat Madura, satu kaki pada budaya Madura yang selalu dinamis. Relasi antara aspek “Transendensi” dan “Imanensi” tertuang dalam aspek sosialitas dan individualitas tradisi carok.
Tradisi carok memperoleh pembenaran dari masyarakat Madura berupa justifikasi dan legitimasi secara sosial-budaya yang didasarkan atas tolok ukur normatif-ontologis-transendental. Refleksi atas tradisi carok sebagai substansi yang substansionalistik tertuang dalam aspek otonomi berupa keunikan dan keberlainannya, yaitu pada aspek penyebab (pelecehan harga diri dan perasaan malu) dan pada aspek caracara melakukan carok. Sedangkan aspek statisme tradisi carok terletak pada unsur kekerasan yang berujung pada pembunuhan, yang bersifat inheren.
Aspek normatif tradisi carok dengan menggunakan tolok ukur kebenaran normatif-etis-fundamental tidaklah dapat dibenarkan dan merupakan kejahatan kemanusiaan terhadap penghargaan, penghormatan, perlindungan dan keselamatan atas keunikan dan keberlainan orang lain.